Banyaknya masalah yang terjadi saat zaman reformasi ini tidaklah jauh
dengan aspek SDM yang ada. Terungkapnya banyak kasus di negeri ini telah
membuka mata kita untuk mengakui bahwa kepedulian orang per orang
terhadap yang lainnya masih rendah. Banyak moral hazard yang terjadi
seperti sikap acuh tak acuh terhadap nasib orang lain yang notabene
adalah saudaranya sendiri. Sehingga kemudian menganggap bahwa segala
ketidak beresan yang dilakukannya hanyalah suatu akibat yang biasa harus
ditanggung oleh orang lain sebagai konsekuensi dari ketidak mampuannya
untuk mengakses kekuasaan.
Dalam hal inilah mungkin kita bisa
menyebutkan bahwa rasa kekeluargaan yang ada di Negara ini masih dirasa
kurang. Oleh karena itulah penulis merasa perlu untuk menganalogikan
antara Negara dan sebuah rumah tangga dengan sebuah harapan agar kita
lebih bisa melihat secara sederhana apa yang sedang terjadi dalam
kehidupan bernegara.
Seperti kita ketahui bersama bahwa di
dalam keluarga minimal terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Kemudian ada
juga keluarga lain yang juga tercatat sebagai anggota keluarga.
Tugas-tugasnyapun secara tertulis atau tidak tertulis sudah sangat
jelas. Seperti misalnya ayah bertugas memberikan nafkah keluarga,
memberi rasa aman, dan memberikan rasa keadilan terhadap semua anggota
keluarga. Kemudian ibu bertugas untuk mengelola jalannya rumah tangga,
menjadi wakil dari ayah ketika beliau sedang tidak ada di rumah, dan
menjadi pelengkap kekurangan ayah dalam kepemimpinannya. Sedangkan anak,
sebelum ia berkeluarga, berkewajiban untuk patuh terhadap peraturan
yang ada di rumah tersebut, menjadi kebanggaan keluarga, dan juga berhak
mendapatkan perlindungan dari ayah dan ibu mereka. Secara sederhananya
dari semua anggota keluarga tersebut harus saling menjaga dan
melindungi. Jika satu anggota sakit maka sakitlah anggota keluarga yang
lain.
Negara tidak ubahnya seperti sebuah keluarga. Di dalam
sebuah Negara ada pemerintah dan ada pula rakyat. Kedua komponen
tersebut memiliki tugas dan wewenang yang sudah disepakati bersama.
Pemerintah adalah wakil rakyat yang dipilih secara demokratis oleh
rakyatnya. Pemerintah bertugas untuk melayani masyarakat dalam melakukan
aktifitasnya, seperti misal menjaga dan melindungi rakyatnya, menjamin
rakyatnya untuk bisa mempertahankan hidup, dan mengayomi rakyatnya untuk
terus senantiasa hidup dengan bebas mengekspresikan pendapat serta
memiliki kebanggaan akan identitasnya. Di lain pihak rakyatpun memiliki
tugasnya tersendiri seperti menaati peraturan yang beraku, ikut menjaga
keberlangsungan kehidupan bernegara, dan menjaga nama baik dan martabat
Negara di mata internasional. Secara sederhananya, antara
komponen-komponen dalam Negara tersebut harus memiliki kesatuan ikatan
batin yang merasakan penderitaan ketika komponen yang lainnya menderita.
Begitupun ikut bahagia ketika komponen yang lainnya merasa bahagia.
Dalam kebiasaan sebuah keluarga. Biasanya orang akan malu ketika
mendapati bahwa ada salah satu dari anggota keluarganya yang tersangkut
masalah. Atau orang akan berfikir beberapa kali tentang nama baik
keluarganya ketika ia akan melakukan hal-hal yang negatif. Hal itu
biasanya terjadi dikarenakan rasa sayangnya anggota keluarga terhadap
keluarga yang lainnya.
Dalam kebiasaan sebuah keluargapun
biasanya seorang kepala keluarga mati-matian berusaha dalam
memperjuangkan nafkah bagi anggota keluarganya. Sehingga kemudian kita
mengenal peribahasa banting tulang atau kepala jadi kaki, kaki jadi
kepala. Hal tersebut dilakukannya karena rasa tanggung jawabnya kepada
keluarga yang notabene adalah titipan Tuhan yang akan ditanyakan
pertanggung jawabannya di hari kemudian.
Begitu pula halnya
dengan sebuah Negara. Dalam hal ini pemerintah yang berfungsi sebagai
orang tua secara normatif harus mampu melindungi, mengayomi, menjamin
pekerjaan, dan menjamin rakyatnya hidup merdeka secara lahir dan
batinnya. Sehingga kemudian kita mengenal slogan pemerintah yang
berbunyi pro growth, pro job, dan pro poor.
Sudah selayaknya
ketiga slogan itu selalu menjadi sebuah ekspresi dari rasa kasih sayang
dari pemerintah sebagai orang tua kepada rakyatnya yang sebagai anak.
Karena secara lebih jauhnya ketiga slogan itu merupakan janji dari
kemerdekaan yang belum terlunasi.
Masalahnya kemudian muncul
ketika pemerintah tidak secara bulat hati untuk memenuhi janji
kemerdekaan tersebut. Dengan kata lain pemerintah acuh terhadap
kepentingan rakyatnya, menganggap bahwa rakyat harus bisa menyelesaikan
segala kebutuhannya secara mandiri (tanpa bantuan pemerintah) dengan
berbagai macam dalih, misalnya agar rakyatnya terpacu untuk
mengembangkan diri, melatih rakyat untuk tidak bergantung kepada orang
lain, dan sebagainya dan sebagainya yang menurut logika memang
sepertinya masuk akal. Malah yang lebih parahnya adalah jika oknum
pemerintah ini sudah membiarkan kesengsaraan yang menimpa rakyat dengan
asumsi bahwa kalau rakyat sudah sangat menderita maka tanpa bantuan
pemerintahpun mereka akan bergerak untuk memperbaiki hidupnya.
Maka kemudian muncullah istilah neoliberalisme atau yang lebih dikenal
sebagai neolib. Penyakit neolib inilah yang sangat berbahaya terhadap
kehidupan berbangsa karena sifat ini sudah tidak mencerminkan lagi sikap
pro terhadap rakyat apalagi menganggap rakyat sebagai sebuah tanggung
jawab yang akan dipertanyakan di hari akhir nanti. Fenomena neolib ini
bukanlah hal yang baru, dahulu Bung Karno dalam tulisannya
memperkenalkan sifat neolib ini dengan sebutan wanhoopstheorie, yaitu
teori yang menyebutkan bahwa rakyat akan bergerak jika kemelaratan
semakin hebat.
Oleh karena itulah kita sebagai mahasiswa harus
berhati-hati terhadap pemikiran neolib dan wanhoopstheorie. Kita
hendaknya bisa berempatik kepada rakyat sebagai anak agar tidak
diterlantarkan oleh pemerintah sebagai orang tuanya. Karena seperti kita
ketahui bahwa jika orang tuanya saja sudah tidak peduli maka siapa lagi
yang diharapkan untuk mengurusi rakyat. Kita semua tidak mau rakyat ini
kemudian terlantar dan menjadi budak di negerinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar