Manusia Indonesia Abad 21 yang Berkualitas Tinggi
I.          PENGANTAR
Kondisi  sebelum abad 21 menampilkan komunikasi antar bangsa, negara, wilayah  yang tidak mudah dilakukan. Banyak keterbatasan yang dihadapi, sehingga  peristiwa yang terjadi di satu tempat tidaklah mudah diketahui oleh  orang-orang yang tinggal di tempat lain. Dunia menjadi terpisah-pisah  dalam ruang dan waktu. Kejadian di Amerika tidak akan mudah diketahui  oleh mereka yang tinggal di belahan bumi lainnya seperti Eropa, Asia,  Afrika, dan Australia. Dengan demikian pikiran, pandangan, gaya hidup  masyarakat di wilayah tertentu bersifat lokal dan khusus, mengacu pada  kebiasaan dan budaya setempat. Kondisi tersebut memunculkan berbagai  ragam tatanan masyarakat dan gaya hidup. 
Keterbatasan  komunikasi juga mengisolir peristiwa yang berlangsung di wilayah  tertentu. Peristiwa di Banda Aceh, misalnya, akan lama sekali sampai  pemberitaannya di Merauke, Irian Jaya. Namun, berkat perkembangan ilmu  pengetahuan dan teknologi menjelang abad 21, jarak tampaknya tidak lagi  menjadi masalah. Menit ini peristiwanya terjadi, menit berikutnya  seluruh dunia bisa mengetahuinya. Ditemukannya satelit membuat  komunikasi menjadi lebih mudah. Kemudahan komunikasi inilah yang membawa  penghuni dunia ke dalam kehidupan bersama, yang memungkinkan mereka  saling berinteraksi, mempengaruhi dan dipengaruhi, juga dalam memilih  dan menentukan pandangan serta gaya hidup.
Abad  21 ditandai dengan semakin membaurnya bangsa-bangsa warga masyarakat  dunia dalam satu tatanan kehidupan masyarakat luas yang beraneka ragam  tetapi sekaligus juga terbuka untuk semua warga. Gaya hidup yang  menyangkut pilihan pekerjaan, kesibukan, makanan, mode pakaian, dan  kesenangan telah mengalami perubahan, dengan kepastian mengalirnya  pengaruh kota-kota besar terhadap kota-kota kecil, bahkan sampai ke  desa. Bentuk-bentuk tradisional bergeser, diganti dengan gaya hidup  global. Kesenangan bergaya hidup internasional mulai melanda.  Perbincangan mengenai pengembangan hubungan antar negara menjadi mirip  pembahasan tentang pengembangan komunikasi antar kota dan desa.  Teknologi komunikasi memang memungkinkan dilakukannya pengembangan  hubungan dengan siapa saja, kapan saja, di mana saja, dalam berbagai  bentuk yakni suara dan gambar yang menyajikan informasi, data, peristiwa  dalam waktu sekejap. Secara psikologis kondisi tersebut akan membawa  manusia pada perubahan peta kognitif, pengembangan dan kemajemukan  kebutuhan, pergeseran prioritas dalam tata nilainya. 
II.        KONDISI DAN SITUASI DI ABAD 21
Proses  menuju abad 21 telah berlangsung sejak tahun tujuh puluhan. Dalam  percaturan internasional tak ada yang bisa menghindar atau mengelakkan  diri dari proses ini. Pengaruh yang datang tak lagi bisa dibendung,  mengalir deras tanpa kenal batas. Film, surat kabar, majalah, radio,  televisi gencar menyuguhkan pemikiran, sikap dan perilaku yang  sebelumnya tidak dikenal. Gaya hidup baru yang diberi label ‘modern’  diperkenalkan secara luas. Naisbitt dan Aburdene (1990) sebagaimana  dikutip oleh Sri Mulyani Martaniah (1991) mengatakan bahwa era  globalisasi memungkinkan timbulnya gaya hidup global. Tumbuhnya restoran  dengan menu khusus dari mancanegara semakin menjamur, menggeser selera  masyarakat yang semula bertumpu pada resep-resep tradisional. Gaya  berpakaian dipengaruhi oleh garis-garis mode yang diciptakan oleh  perancang kelas dunia. Kosmetika, aksesori, dan pernak-pernik lainnya  untuk melengkapi penampilan tidak lepas dari pengaruh era globalisasi,  seperti halnya tata busana. Selain mode, dunia hiburan juga tersentuh.  Munculnya kafe, kelab malam, rumah bola (bilyard) memberi warna baru  dalam kehidupan masyarakat. Demikian pula kegiatan pasar. Bentuk-bentuk  pasar tradisional yang memungkinkan terjadinya keakraban antara penjual  dan pembeli, sehingga keterlibatan emosional ikut mewarnai, perlahan  menghilang dan berganti dengan transaksi ekonomi semata ketika muncul  pasar-pasar swalayan.
Seiring  dengan perubahan jaman, masyarakat pun mengembangkan norma-norma,  pandangan dan kebiasaan baru dalam berperilaku. Era globalisasi yang  mewarnai abad 21 telah memunculkan pandangan baru tentang arti bekerja.  Ada yang lebih luas dari sekadar makna mencari nafkah dan ukuran  kecukupan dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Orang cenderung mengejar  kesempatan untuk bisa memuaskan kebutuhan aktualisasi diri, sekaligus  tampil sebagai pemenang dalam persaingan untuk memperoleh yang terbaik,  tertinggi, terbanyak. Untuk bisa mengikuti gaya hidup yang baru,  diperlukan dukungan kemampuan ekonomi yang tinggi. Kebutuhan ini sangat  terasa. Tawaran gaya hidup modern yang ditawarkan melalui kaca-kaca  ruang pamer toko atau distributor benda-benda yang digandrungi  masyarakat telah memacu banyak orang untuk bekerja tak kenal waktu.  Orang sibuk mencari uang untuk bisa memiliki gaya hidup seperti yang  ditawarkan. Apalagi media massa juga rajin menggelitik masyarakat untuk  dapat mengikutinya, antara lain melalui iklan, sinetron, acara-acara  hiburan, dan sebagainya. Kemajuan teknologi komunikasi abad ini telah  memungkinkan berita dan cerita segera menyebar ke seluruh pelosok,  menyapa siapa saja, tak peduli penerima pesannya siap atau tidak. 
Wajah  keluarga juga berubah. Perkembangan jaman yang merubah gaya hidup  masyarakat ikut mewarnai kehidupan keluarga. Peran suami istri, pola  asuh dan pendidikan anak tidak bisa mempertahankan pola lama sepenuhnya.  Pengaruh yang diterima suami istri, juga yang diterima anak dalam  proses perkembangannya, tak lagi bisa dipisahkan dari dunia di luar  rumah. Melalui perangkat teknologi anak bisa langsung menerima pengaruh  dari luar, yang tentu saja akan selalu mempunyai dua sisi, baik dan  tidak baik, positif dan negatif. Situasi inilah yang akan mewarnai  kehidupan anak dan orang tua di abad 21. Orang tua tak lagi menjadi  pewarna tunggal dalam pengembangan pola sikap dan tingkah laku anak. Ada  lingkungan yang lebih luas dan leluasa memasuki kehidupan keluarga  dalam menawarkan berbagai bentuk perilaku untuk diamati, dipilih, dan  diambil alih anak. ‘Teman’ dan ‘pesaing’ orang tua menjadi bertambah,  sebab lingkungan memang tidak hanya terdiri dari dukungan atau penguat  pesan-pesan dan nilai yang ditanamkan orang tua, tetapi juga menjadi  penghambat dan pengganggu penerimaan pesan dan nilai tersebut. 
Perkembangan  kehidupan keluarga yang mewarnai abad 21 memunculkan penampilan ibu  yang berbeda dalam peran dan fungsinya selaku penyelenggara rumah tangga  dan pendidik anak. Seiring dengan pemunculan ibu dalam kegiatan di luar  rumah (bekerja, melakukan kegiatan sosial-budaya), kehadiran ibu yang  tidak lagi 24 jam di rumah menimbulkan pertanyaan tentang hasil yang  bisa diharapkan dari pola asuhan dan pendidikan dalam situasi seperti  itu. Apa jadinya setelah ibu juga sibuk di luar, padahal ibu dikenal  selaku pendidik pertama dan utama? Bisakah anak tetap diharapkan mampu  berkembang optimal tanpa kehadiran ibu? Kalau ibu tidak ada, siapa yang  layak ditunjuk dan diserahi tanggung jawab sebagai pengganti? Pertanyaan  ini menjadi terasa lebih bermakna karena ayah tak juga menjadi surut  dari kegiatannya di luar rumah, bahkan cenderung meningkat seiring  dengan tuntutan kehidupan abad 21. Nah, kalau ayah dan ibu sama-sama  tidak bisa hadir penuh, lalu siapa yang harus menjadi pengganti mereka  berdua? Padahal, kehadiran itu sangat diperlukan anak, tak peduli  berapapun umurnya, sebab proses pendidikan berlangsung selama masa  perkembangannya, sejak kanak-kanak sampai dewasa. Jadi, bukan hanya  balita (anak berumur di bawah lima tahun) yang memerlukan kehadiran  bapak dan ibu, tetapi juga anak pada tahapan perkembangan selanjutnya,  yakni mereka yang berada dalam tahap perkembangan kanak-kanak, pra  remaja, remaja, dewasa muda, dewasa.
Mencari  pengganti ibu tampaknya merupakan masalah yang akan mewarnai abad 21.  Tidak mudah memperoleh pengasuh anak.. Hampir tak ada lagi pengasuh anak  dalam keluarga yang bisa membantu ibu dan berperan turun temurun, dari  generasi ke generasi, seperti yang pernah dialami pada era sebelumnya.  Unsur kesetiaan dan pengabdian sudah berubah menjadi transaksi ekonomi  semata, sekadar menjual dan memakai jasa. Sementara itu gagasan untuk  mengatasi masalah ini dengan mendirikan Tempat Penitipan Anak (TPA)  masih memerlukan banyak pengkajian dan pertimbangan.
Masalah  pendidikan anak yang mewarnai abad 21 perlu disikapi sungguh-sungguh  sejak sekarang. Bekal untuk anak agar bisa tumbuh dan berkembang sebagai  sosok pribadi yang sehat jasmani dan rohani, tangguh dan mandiri serta  mampu beradaptasi dalam era globalisasi ini menjadi semakin perlu  diperhatikan kualitasnya. Kondisi abad 21 yang memberi peluang besar  bagi bangsa-bangsa di dunia untuk saling berinteraksi, sekaligus membawa  ke suasana kompetisi atau persaingan yang semakin ketat dalam  memperoleh kesempatan untuk mengisi kehidupan dan membuatnya menjadi  bermakna (bisa sekolah, bisa bekerja dan mencari nafkah, dan  sebagainya). Persaingan ini memerlukan ketangguhan dan keuletan dalam  menghadapinya. Kebutuhan untuk "menjadi seseorang" dan "menjadi bagian"  yang jelas kedudukannya bisa menjadi landasan untuk menumbuhkan motivasi  pengembangan diri dan kemampuan beradaptasi. Kebutuhan ini erat  kaitannya dengan pembentukan rasa percaya diri dan menumbuhkan motivasi  untuk berusaha dan meraih kesempatan agar dapat senantiasa meningkatkan  diri. Sikap yang mandiri, tak gentar menghadapi rintangan, mampu  berpikir kreatif dan bertindak inovatif tapi juga peduli lingkungan  adalah sosok yang diperlukan untuk menjalani kehidupan dalam era  globalisasi. Jelas bahwa pengembangan sikap dan perilaku tersebut  merupakan tuntutan yang lebih berat daripada hasil pendidikan yang  menjadi tanggung jawab generasi sebelumnya. Kemampuan mengantisipasi  masa depan dengan berbagai alternatif untuk mengatasi permasalahannya  menjadi sangat penting untuk diperhatikan dalam proses pengasuhan dan  pendidikan anak. Situasi ini tidak hanya merupakan masalah keluarga,  melainkan juga seluruh pendukung proses pendidikan anak, yaitu  masyarakat, bangsa dan negara. 
III.      PERILAKU MANUSIA INDONESIA
1.         Kehidupan masyarakat pasca proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945
Kehidupan  berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola perilaku  masyarakat, yang tercermin dari perilaku individu selaku anggota  masyarakat. Sebagai bangsa yang bangkit dari penjajahan (Belanda dan  Jepang), di awal kemerdekaan manusia Indonesia mengembangkan perilaku  penuh gairah membangun bangsa dan negara. Kebanggaan menyandang  identitas sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat penuh  mendorong terjadinya interaksi yang saling mengisi antar berbagai suku  bangsa dalam semangat kesatuan dan persatuan, yang tercermin dalam  lambang Bhinneka Tunggal Ika, walaupun berbeda tetap satu jua. Ada  kebutuhan untuk saling mengenal, memahami dan menghayati agar kesatuan  dan persatuan tidak hanya sekadar simbol, melainkan merasuk dalam  kehidupan sehari-hari. 
Kebanggaan  dan cita-cita mempertahankan kemerdekaan serta keinginan untuk tampil  sebagai bangsa yang dikenal dan dihormati dalam percaturan dunia telah  membawa masyarakat dalam pengembangan perilaku kebersamaan, yang  cenderung tidak mempertajam perbedaan latar belakang suku, pendidikan,  agama, dan sebagainya. Menjadi Manusia Indonesia adalah tujuan yang  diharapkan dapat dibentuk bersama oleh masyarakat "seribu pulau" ini.  Ada kebutuhan yang ditumbuhkan untuk memotivasi masyarakat agar bisa  tampil sebagai "Orang Indonesia" sebagai identitas diri yang baru,  dengan tetap mempertahankan latar belakang warna suku bangsanya.  Perpaduan berbagai ragam budaya pun dicari dan diusahakan bersama.  Dengan falsafah gotong royong, semangat persatuan dan kesatuan,  pembangunan bangsa dan negara mendapat dukungan dari berbagai lapisan  masyarakat.
2.         Pembentukan perilaku manusia Indonesia dalam masa Orde Baru
Peristiwa  di tahun 1965 (pembubaran Partai Komunis Indonesia) kemudian  memunculkan arah baru dalam pembentukan perilaku manusia Indonesia. Masa  yang dikenal sebagai Orde Baru mengarahkan pembangunan di bidang  ekonomi sebagai fokus utama. Masyarakat pun berpaling. Segenap lapisan  berusaha mengikuti derap pembangunan yang baru, sesuai dengan kemampuan  dan harapannya. Sejalan dengan perkembangan ini maka sikap dan gaya  hidup masyarakat pun berubah. Manusia Indonesia seolah dipaksa masuk ke  dalam persaingan global yang berciri khas kapitalisme. Para pengusaha  siap menjelajah seluruh pelosok dan menelan siapa saja untuk mencapai  tujuannya demi laba yang ingin diraih. Arief Budiman (1991) mengemukakan  bahwa salah satu aspek ekspansi kapitalisme global adalah diciptakannya  manusia-manusia yang serakah dan materialistis, sesuai dengan yang  dibutuhkan oleh sistem kapitalisme. Produksi akan macet kalau manusia  merasa sudah cukup dan tidak mau berkonsumsi lagi. Akibatnya, melalui  iklan dan berbagai bentuk promosi lainnya manusia dibentuk menjadi  berperilaku konsumeristis. Sikap serakah, materialistis, dan  konsumeristis inilah yang mendorong orang untuk bekerja  sekeras-kerasnya, demi memenuhi keinginannya yang tak kunjung  terpuaskan. Kekayaan menjadi simbol status dalam sistem kapitalis.  Ukuran tidak lagi pada kualitas manusianya, melainkan pada jumlah atau  kuantitas harta yang dimiliikinya. Kejujuran tak lagi menjadi ukuran  keluhuran perilaku. Menurut istilah Arief, "orang yang jujur tapi miskin  tampak bodoh ketimbang orang yang kaya meski kurang jujur." 
Sisi  lain dari pengembangan sistem kapitalis adalah ditimbulkannya semangat  individualistis, baik dalam berkonsumsi maupun berproduksi. Kolektivitas  dan solidaritas dianggap tidak rasional. Kemampuan berkompetisi untuk  meraih yang terbanyak, tertinggi, lalu berkonsumsi dalam jumlah banyak  untuk meraih simbol status adalah tuntutan untuk bisa masuk dan bertahan  dalam kehidupan sistem kapitalis. Akhirnya, kapitalisme bukan lagi  sekadar sistem perekonomian belaka, tetapi sudah mencampuri nilai-nilai  kehidupan dan menentukan arah tujuan hidup. Suasana inilah yang mewarnai  periode pemerintahan Orde Baru. Upaya menciptakan manusia yang  materalitis, individualistis, memiliki daya saing tinggi agar bisa  menjadi pemenang dan mengalahkan pesaing-pesaing lainnya (siapapun dia)  menjadi arah pembentukan perilaku oleh berbagai pihak. 
 
Ada  pemenang ada pecundang (the winner and the looser). Mereka yang mampu  akhirnya memang ‘berhasil’ mengikuti gaya hidup global. Tapi, sebagian  besar masyarakat Indonesia belum memiliki dukungan untuk bisa mengikuti  gaya hidup yang baru. Keadaan ekonominya masih sangat jauh untuk bisa  tampil dalam persaingan tersebut. Akibatnya, banyak orang menempuh jalan  pintas. Korupsi, kolusi , koncoisme, nepotisme dilakukan orang dalam  berbagai bentuk, yang sama buruknya dengan perilaku menipu, mencuri,  merampok, melacurkan diri. Cara ini ditempuh orang-orang yang tidak  memiliki kemampuan untuk bersaing tetapi sangat mendambakan kehidupan  yang diciptakan oleh sistem kapitalis. Berdasarkan kondisi kemampuan  ekonomi sebagian besar masyarakat Indonesia, Sri Mulyani Martaniah  (1991) melihat banyak aspek dalam era globalisasi yang dapat berdampak  negatif dan bisa menyebabkan patologi sosial dan memerlukan pengembangan  psikologi komunitas sebagai salah satu cara mengatasinya. 
Ada  lagi kelompok lain, yaitu mereka yang tidak dapat melakukan cara-cara  tersebut, tetapi tetap terimbas oleh kehidupan sistem kapitalis. Akibat  bagi kelompok ini adalah perilaku yang menunjukkan perasaan tertekan  (stress), depresi, bunuh diri, melarikan diri ke pemakaian obat-obatan  dan minuman keras. Sebagian lainnya dari kelompok ini mengembangkan  perilaku yang bersifat apatis. Mereka hanya menjadi penonton pasif dan  mencoba bertahan dengan apa yang dimilikinya dan bisa dilakukannya,  entah sampai kapan.
Manusia  tak lepas dari lingkungannya. Kecenderungan mengikuti gaya hidup yang  baru, yang "trendy" dan menempatkan nilai-nilai baru dalam ukuran  keberhasilan telah merusak dan menghancurkan nilai-nilai tradisional  yang sebelumnya dipegang teguh dan diyakini sebagai kebenaran. Nilai  yang mementingkan kebersamaan dan menumbuhkan sikap gotong royong  dilibas oleh nilai individualistis. Nilai yang meletakkan unsur  spiritual berganti dengan unsur materi. Sikap yang mementingkan  keselarasan dalam kehidupan bersama, sebagaimana yang telah mewarnai  kehidupan masyarakat Indonesia, diubah menjadi sikap yang selalu mau  bersaing dan memenangkan persaingan, tak peduli apapun caranya dan  siapapun yang dihadapi. 
Dalam  periode ini semua pihak, mau tidak mau, suka atau tidak, seolah dipaksa  masuk ke dalam pembentukan perilaku persaingan global. Namun, di sisi  lain, pada saat yang bersamaan tidak ingin meninggalkan cita-cita  bangsa, yaitu terwujudnya masyarakat yang menjunjung tinggi kemanusiaan  dan keadilan sosial. Benturan antara keyakinan terhadap nilai-nilai  tradisional dan kenyamanan serta keamanan, yang pernah diberikan dalam  cara kehidupan yang menjunjung tinggi kebersamaan, dengan kehidupan  sistem kapitalis melahirkan konflik-konflik pribadi yang cukup tajam  pengaruhnya dalam proses pembentukan perilaku. 
Bayang-bayang  kehidupan masyarakat dalam masa Orde Baru dengan berbagai benturan  kepentingan dan kebutuhan itulah yang kemudian memunculkan Era  Reformasi, yang ditandai oleh "lengsernya" Soeharto dari jabatannya  selaku Presiden Republik Indonesia setelah berkuasa selama 32 tahun.  Wajah masyarakat muncul beraneka ragam. Berbagai bentuk perilaku tampak  mencerminkan kondisi dan situasi yang dimiliki masing-masing, baik  sebagai individu maupun kelompok, yang semula ditekan kuat-kuat agar  tidak muncul ke permukaan dan tidak menimbulkan konflik terutama bagi  mereka yang berbeda pendapat. Demonstrasi, pembentukan partai-partai  baru, penjarahan, perkosaan, doa bersama, tuding menuding, menghujat dan  dihujat mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Negeri seribu  pulau dengan nyanyian nyiur melambai yang melambangkan kenyamanan dan  kedamaian seolah terpuruk dalam tangis Pertiwi yang meratapi nasib  bangsa dan negara yang tampak ‘carut marut’ oleh berbagai kepentingan  dan kebutuhan. Kondisi dan situasi dalam kehidupan berbangsa dan  bernegara yang dirasakan dalam keadaan terpuruk itu menjadi bertambah  sulit proyeksinya ke depan, karena perilaku yang tampil di masyarakat  tidak lagi mencerminkan kepedulian terhadap hukum dan aturan kehidupan  bersama yang menimbulkan ketenteraman dan kenyamanan. 
IV.      MAKNA HUKUM DALAM PEMBENTUKAN PERILAKU
Hukum  dapat mengarahkan masyarakat ke arah pembaruan perilaku yang sesuai  dengan kebutuhan mereka untuk dapat menghadapi berbagai tantangan,  sekarang dan di masa yang akan datang. Ditinjau dari segi budaya hukum,  yaitu bagaimana masyarakat mempersepsikan hukum, maka secara umum hukum  dipersepsikan sebagai: suatu tatanan normatif dalam kehidupan bernegara  berfungsi mengatur kehidupan warganegara dengan memberikan batasan  tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan  bertujuan untuk melindungi tiap warganegara dengan mengacu pada  nilai-nilai dasar seperti kemanusiaan dan keadilan ditetapkan oleh  otoritas yang legitimasinya diakui oleh seluruh warganegara.
Dengan  demikian dapat dikatakan bahwa dari sudut perilaku masyarakat, maka  hukum memiliki dua fungsi, yaitu: memantapkan pola perilaku masyarakat  yang sudah ada dan ingin dipertahankan dan/atau mengubah pola perilaku  masyarakat yang ada saat ini ke arah perilaku baru yang dicita-citakan. 
Persepsi  masyarakat terhadap hukum dan kenyataan yang dirasakannya dalam  menerima perlakuan hukum adalah unsur penting dalam pengembangan  perilaku hukum. Bila masyarakat sungguh mempersepsikan bahwa hukum  melindungi kepentingan mereka dan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh  otoritas yang diakui legitimasinya oleh warga, maka proses pemantapan  ataupun perubahan perilaku yang dilakukan melalui pendekatan hukum akan  dapat terlaksana secara teratur dan terencana. 
Kepastian  hukum dan jaminan pelaksanaannya merupakan landasan bagi masyarakat  dalam pengembangan perilaku normatif yang diperlukan bagi keamanan dan  kenyamanan kehidupan bersama. Kepercayaan masyarakat terhadap aparat  penegak hukum dan proses penegakan hukum merupakan unsur penting dalam  mengembangkan perilaku yang peduli hukum, yang tampil dalam bentuk  perbuatan yang memahami aturan, melaksanakan aturan, dan kesediaan  menanggung konsekuensi akibat pelanggaran hukum yang dilakukannya.  Perasaan diperlakukan secara adil juga penting bagi dipatuhinya  aturan-aturan dalam kehidupan bermasyarakat sesuai hukum yang berlaku.  Sebaliknya, perlakuan hukum yang dirasakan berpihak akan mendorong  timbulnya perilaku yang cenderung mengingkari, yang bisa muncul dalam  bentuk "menghindari" atau bahkan melawan hukum (denda ‘damai’ atau  suap). 
Setiap  anggota masyarakat diharapkan bisa secara mandiri memahami makna dan  tujuan ditegakkannya hukum, sehingga dalam pelaksanaannya tidak terlalu  memerlukan pengawasan. Dengan demikian jumlah aparat yang diperlukan  untuk pengawasan dalam pelaksanaan hukum bisa lebih efisien. Salah satu  ciri kemandirian adalah kemampuan memilih yang benar dari yang salah  berdasarkan norma atau aturan yang berlaku di satu tempat dalam kurun  waktu tertentu. Kesiapan seseorang untuk bisa mandiri dalam membedakan  yang benar dan salah berdasarkan norma yang diyakininya dan dijadikannya  sebagai pegangan dalam berperilaku memerlukan proses yang bertahap.  Menurut Lawrence Kohlberg ada tiga tahapan pokok yang dilalui seseorang  untuk mampu bersikap adil dan mengembangkan sikap dan perbuatan  berdasarkan pertimbangan moral., yaitu: Moralitas Prakonvensional. Pada  tahapan ini dasar yang menjadi pegangan dalam bersikap dan bertingkah  laku adalah pujian dan hukuman yang diberikan oleh lingkungan. Tingkah  laku yang diancam hukuman tidak akan dilakukan lagi. Sebaliknya,  perbuatan yang mendatangkan pujian atau hadiah akan cenderung diulang.  Moralitas Konvensional. Pada tahapan ini perilaku sudah lebih  disesuaikan dengan norma yang dianut dalam lingkungan sosial tertentu.  Sikap dan perilaku diarahkan supaya bisa dikelompokkan sebagai perbuatan  seorang anggota atau warga masyarakat yang baik. Moralitas  Pascakonvensional. Pada tahapan ini prinsip-prinsip moral digunakan  dalam arti luas, tidak sekadar hitam putih dan tidak mengacu pada  batasan-batasan sempit yang berlaku hanya untuk kalangan masyarakat  tertentu.
Perilaku  masyarakat terbagi dalam tiga kelompok tersebut, yang dipengaruhi oleh  proses perkembangannya. Tingkat kematangan pribadi sangat menentukan  moralitas yang mendasari perilakunya.
Ada dua mekanisme belajar yang utama dalam membentuk perilaku manusia, yaitu:
·         Cara belajar instrumental
·         Cara belajar observasional
Belajar  instrumental pada dasarnya mengatakan bahwa suatu perilaku yang diikuti  oleh konsekuensi yang positif (reinforcement) akan diulangi, sedangkan  perilaku yang diikuti oleh konsekuensi negatif (punishment) tidak akan  diulangi. Contoh: Bila dalam pengalaman sehari-hari seseorang selalu  mengalami bahwa "mengurus KTP dengan mengikuti prosedur yang berlaku"  (perbuatan menaati peraturan) membuat dia kehilangan jam kerja  berhari-hari, sedangkan dengan "mengurus KTP dengan memberi uang  pelicin" (perbuatan melanggar peraturan) petugas malahan mengantar KTP  baru ke rumah, maka menurut belajar instrumental, dia akan cenderung  memberi uang pelicin setiap kali harus mengurus KTP di masa yang akan  datang, walaupun perbuatan itu melanggar hukum. Menurut persepsinya,  perbuatan itulah yang menghasilkan reinforcement sedangkan menaati hukum  justru menghasilkan punishment.
Tentu  dalam hal ini keterkaitan (contingency) antara suatu perilaku dengan  konsekuensi yang menyertainya harus terjadi secara konsisten untuk suatu  jangka waktu tertentu sebelum pola perilaku yang diinginkan dapat  terbentuk. Tanpa adanya konsistensi ini maka perilaku yang diinginkan  tidak akan dapat terbentuk. Misalnya bila pada suatu waktu si Anu akan  melewati lampu merah dilarang oleh polisi, sedangkan ketika ia melakukan  hal yang sama pada waktu lain polisi membiarkan saja hal tersebut maka  tidak akan terjadi proses pengkaitan antara "melewati lampu merah"  dengan "penilangan oleh polisi." Sebagai konsekuensinya tidak akan  terbentuk perilaku "berhenti setiap kali melihat lampu merah."
Belajar  observasional mengatakan bahwa seseorang dapat mempelajari perilaku  baru atau memperkuat perilaku yang sudah dimilikinya hanya dengan  mengamati orang lain (model) melaksanakan perilaku tersebut. Besarnya  pengaruh perilaku model terhadap perilaku si pengamat tergantung pada  tiga hal, yaitu: penilaian pengamat tentang kemampuannya untuk dapat  melaksanakan perilaku yang ditunjukkan oleh model persepsi pengamat  tentang hasil perilaku yang ditunjukkan model, yaitu apakah menghasilkan  konsekuensi positif atau negative perkiraan pengamat, apakah ia akan  menghasilkan konsekuensi yang sama bila ia juga melaksanakan perilaku  yang ditunjukkan model. 
Contoh:  Si Polan belum pernah mangkir dari pekerjaan karena hal tersebut  melanggat peraturan kerja yang ada. Namun si Polan mengamati bahwa  atasan dan rekan kerjanya yang sering mangkir tidak pernah ditegur atau  dihukum, malahan dapat menikmati uang dari hasil pekerjaan sampingan  (reinforcement) yang dilakukan pada saat mangkir kerja. Dalam situasi  ini si Polan pun akan cenderung untuk ikut mangkir kerja dan melakukan  pekerjaan sampingan, sesuai dengan perilaku model yang diamatinya.  Menurut Bandura (1986) belajar observasional dari model ini telah  terbukti sebagai sarana yang ampuh untuk meneruskan nilai-nilai, sikap  dan pola perilaku dalam masyarakat. Bila persepsi masyarakat tentang  peranan hukum dikaitkan dengan kedua mekanisme belajar tadi, maka hukum  sebenarnya merupakan suatu instruksi atau pemberitahuan dari otoritas  yang diakui kewenangannya mengenai:
perilaku  yang diharapkan dari semua individu yang dikenai oleh hukum tersebut  konsekuensi yang akan dialami individu pelaku bila ia melaksanakan atau  menolak melaksanakan perilaku yang dimaksud. Agar hukum ini dapat  berfungsi secara efektif, ada dua syarat yang perlu dipenuhi, yaitu:
hukum tersebut harus dimengerti oleh individu yang melaksanakannya dan oleh individu yang akan dikenai oleh hukum tersebut konsekuensi dari dipatuhi atau tidak dipatuhinya hukum tersebut harus dijalankan secara konsisten dan berlaku umum tanpa pengecualian.
hukum tersebut harus dimengerti oleh individu yang melaksanakannya dan oleh individu yang akan dikenai oleh hukum tersebut konsekuensi dari dipatuhi atau tidak dipatuhinya hukum tersebut harus dijalankan secara konsisten dan berlaku umum tanpa pengecualian.
Arah  pembangunan Indonesia dalam tiga dasa warsa terakhir ini, yang dikenal  sebagai era Orde Baru, pada hakekatnya adalah pembangunan yang sangat  menekankan pengembangan bidang ekonomi. Dalam konteks ini segala sesuatu  diarahkan agar pertumbuhan ekonomi dapat terus berlangsung tanpa  mengalami gangguan. Untuk itu harus selalu diupayakan terciptanya  stabilitas ekonomi agar dapat menarik para investor. Stabilitas ekonomi  memerlukan dukungan stabilitas politik, yang kemudian oleh para pejabat  negara seringkali diinterpretasikan sebagai perlunya pendekatan keamanan  (security approach). Tanpa terasa, secara bertahap, semakin banyak  kebijakan, keputusan dan kebijaksanaan yang dibuat dengan dalih  mempertahankan pertumbuhan ekonomi nasional, padahal dalam kenyataannya  tidak jarang hal tersebut hanya menguntungkan pihak tertentu saja dan  kadang-kadang bahkan merugikan rakyat kecil. Hal ini antara lain  terlihat dengan dikeluarkannya peraturan-peraturan yang bertentangan  dengan hukum, seperti pemberian hak monopoli untuk komoditi tertentu,  keputusan-keputusan pengadilan yang dirasakan kurang adil, misalnya  penyelesaian kasus Kedung Ombo dan hak tanah ulayat di Irian Jaya. Dalam  bentuk lain, hal yang sama sering terlihat dalam proses penegakan hukum  ataupun proses pengadilan di mana status, kekuasaan atau uang yang  dimiliki pelanggar hukum ikut mempengaruhi jalannya persidangan maupun  keputusan yang diambil. 
Berbagai  hal yang kurang menguntungkan dalam pengembangan perilaku masyarakat  yang sadar hukum, sebagai bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara,  masih diperburuk lagi dengan adanya dua hal yang sangat berpengaruh  dalam pembentukan perilaku: budaya feodalisme dan paternalistik yang  membuka banyak peluang bagi yang berkuasa di berbagai tingkat untuk  membuat aturan sendiri atau melakukan interpretasi subyektif terhadap  hukum dan perundang-undangan yang ada, sehingga peraturan yang sama  dapat diartikan berbeda oleh pejabat yang berbeda, di wilayah yang  berbeda atau dalam kurun waktu yang berbeda. 
adanya kecenderungan budaya untuk menghindari konflik terbuka dan mencari jalan kompromi yang menyebabkan orang sering lari ke prosedur penyelesaian konflik alternatif di luar pengadilan, padahal bentuk penyelesaian alternatif ini sangat dipengaruhi oleh kekuasaan atau status dari pihak-pihak yang ikut berperan dalam proses tersebut.
adanya kecenderungan budaya untuk menghindari konflik terbuka dan mencari jalan kompromi yang menyebabkan orang sering lari ke prosedur penyelesaian konflik alternatif di luar pengadilan, padahal bentuk penyelesaian alternatif ini sangat dipengaruhi oleh kekuasaan atau status dari pihak-pihak yang ikut berperan dalam proses tersebut.
Berbagai  hal tadi dengan sendirinya menurunkan wibawa para penegak hukum seperti  hakim, pengacara, polisi, dan lain sebagainya serta menurunkan  kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan dan sistem penegakan  hukum itu sendiri. 
Apa  arti kenyataan itu dilihat dari pendekatan belajar dalam rangka  pembentukan perilaku menurut mekanisme belajar instrumental dan  observasional? Kenyataan bahwa seringkali ada peraturan-peraturan yang  bertentangan atau tidak konsisten satu dengan yang lain akan menimbulkan  kebingungan, baik di tingkat pelaksana maupun pada mereka yang dikenai  oleh peraturan tersebut. Padahal untuk dapat terjadi proses pembentukan  perilaku sesuai dengan yang dianjurkan oleh peraturan tertentu, syarat  pertama yang harus terpenuhi adalah bahwa orang-orang yang terlibat di  dalamnya harus mengerti dengan jelas, apa yang dimaksud oleh peraturan  tersebut. Sebagai konsekuensinya, kondisi di mana terdapat kebingungan  jelaslah bukan situasi yang memungkinkan terjadinya pembentukan perilaku  yang sesuai peraturan. Adanya penerapan hukum secara berbeda,  tergantung pada status dan kekuasaan orang yang ikut dalam proses  penyelesaiannya maupun pada status dan kekuasaan individu yang dikenai  oleh hukum tersebut, menyebabkan konsekuensi dari hukum/peraturan  tersebut tidak dapat dilakukan secara konsisten tanpa pengecualian. Bila  kondisi ini tidak terpenuhi, maka pembentukan perilaku yang dituju oleh  hukum tersebut tidak akan terjadi.
Kenyataan bahwa orang yang memiliki kekuasaan seringkali mendapat perlakuan yang menguntungkan (reinforcement) secara konsisten akan menjadikannya sebagai model bagi para pemegang kekuasaan pada tingkat yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, semakin banyak para pemilik kekuasaan pada tingkat yang lebih rendah meneladani pola perilaku para pemimpin yang lebih tinggi. Namun, sayangnya peneladanan ini lebih jarang terjadi dalam hal menaati hukum tanpa pengecualian dan lebih sering terjadi dalam hal memperoleh perlakuan yang berbeda dan menguntungkan, sesuai dengan kedudukan atau kekuasaan mereka. Hal ini agaknya dapat menjelaskan semakin meningkatnya praktek korupsi, kolusi, koncoisme dan nepotisme di kalangan penguasa di berbagai tingkatan di negara kita.
Kenyataan bahwa orang yang memiliki kekuasaan seringkali mendapat perlakuan yang menguntungkan (reinforcement) secara konsisten akan menjadikannya sebagai model bagi para pemegang kekuasaan pada tingkat yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, semakin banyak para pemilik kekuasaan pada tingkat yang lebih rendah meneladani pola perilaku para pemimpin yang lebih tinggi. Namun, sayangnya peneladanan ini lebih jarang terjadi dalam hal menaati hukum tanpa pengecualian dan lebih sering terjadi dalam hal memperoleh perlakuan yang berbeda dan menguntungkan, sesuai dengan kedudukan atau kekuasaan mereka. Hal ini agaknya dapat menjelaskan semakin meningkatnya praktek korupsi, kolusi, koncoisme dan nepotisme di kalangan penguasa di berbagai tingkatan di negara kita.
Dengan  perkataan lain, hukum tertulis yang berisikan instruksi atau  pemberitahuan mengenai perilaku yang diharapkan dan sanksi yang  merupakan konsekuensinya tidak efektif karena tidak dapat dilaksanakan  secara konsisten dan berlaku umum tanpa pengecualian. Di sisi lain,  hal-hal yang ingin dicegah oleh hukum, yaitu adanya perlakuan yang  berbeda pada orang dengan status yang berbeda, justru menjadi semakin  tumbuh subur di antara para pemegang kekuasaan. Hal ini disebabkan oleh  karena mereka mengamati banyak sekali teladan dari penguasa yang lebih  tinggi, yang menunjukkan bahwa "tidak menaati hukum secara konsisten dan  tanpa pengecualian" justru memberikan konsekuensi positif  (reinforcement) pada mereka. Dalam kondisi demikian kiranya akan sangat  sulit untuk berharap bahwa pelaksanaan hukum secara konsisten tanpa  pengecualian akan dapat ditegakkan.
Namun,  yang tidak kalah pentingnya untuk direnungkan adalah konsekuensi yang  mungkin terjadi bila keadaan seperti ini terus berlanjut. Dalam hal ini  ada beberapa hal yang mungkin terjadi: Mereka yang merasa dirugikan akan  berusaha untuk memperjuangkan perbaikan melalui cara-cara yang  dimungkinkan oleh hukum. Alternatif ini semakin mungkin untuk dipilih  bila situasi dan kondisi memungkinkan dan cukup banyak anggota  masyarakat yang memiliki pengetahuan dan mau bertindak asertif untuk  mengupayakan perubahan (memiliki self-efficacy tinggi).
Bila situasi dan kondisi tidak memungkinkan alternatif di atas atau alternatif tersebut sudah diusahakan tetapi tidak membuahkan hasil maka akan muncul perasaan frustrasi. Dengan adanya stimulus tertentu sebagai pemicu, frustrasi ini dapat dengan mudah menjelma menjadi perilaku agresif. Pengamatan terhadap pengalaman di masa lalu menunjukkan bahwa dalam pola budaya yang berorientasi kekuasaan, orang-orang yang berstatus rendah lazimnya mencari perlindungan dalam kolektivitas (Lev, 1991). Bandura (1986) menemukan hal yang kurang lebih sama, yaitu bila cukup banyak orang yang memiliki self-efficacy tinggi, maka mereka cenderung untuk melakukan protes dan usaha kolektif untuk mengubah keadaan. Bila perasaan frustrasi yang diakibatkan oleh tidak adanya kemungkinan untuk melakukan tindakan perbaikan berlangsung dalam waktu yang relatif lama atau bila berbagai upaya yang telah dilakukan berkali-kali tidak memberikan hasil nyata, maka sebagian besar kemungkinan mereka yang terlibat akan mengalami apa yang disebut sebagai "learned helplessness". Artinya, proses panjang dari berbagai upaya yang telah dilakukan namun tidak membuahkan perubahan yang diinginkan menyebabkan orang-orang ini belajar menjadi tidak berdaya dan tidak mau lagi berusaha, karena mereka tidak lagi percaya akan adanya hubungan antara usaha mereka dengan hasil yang ingin dicapai (bersikap apatis). Bila hal ini terjadi pada cukup banyak anggota masyarakat kita, khususnya orang muda, kiranya akan sulit bagi bangsa kita untuk dapat bersaing secara global di abad 21 dan menjadi bangsa yang percaya akan kemampuan diri sendiri.
Bila situasi dan kondisi tidak memungkinkan alternatif di atas atau alternatif tersebut sudah diusahakan tetapi tidak membuahkan hasil maka akan muncul perasaan frustrasi. Dengan adanya stimulus tertentu sebagai pemicu, frustrasi ini dapat dengan mudah menjelma menjadi perilaku agresif. Pengamatan terhadap pengalaman di masa lalu menunjukkan bahwa dalam pola budaya yang berorientasi kekuasaan, orang-orang yang berstatus rendah lazimnya mencari perlindungan dalam kolektivitas (Lev, 1991). Bandura (1986) menemukan hal yang kurang lebih sama, yaitu bila cukup banyak orang yang memiliki self-efficacy tinggi, maka mereka cenderung untuk melakukan protes dan usaha kolektif untuk mengubah keadaan. Bila perasaan frustrasi yang diakibatkan oleh tidak adanya kemungkinan untuk melakukan tindakan perbaikan berlangsung dalam waktu yang relatif lama atau bila berbagai upaya yang telah dilakukan berkali-kali tidak memberikan hasil nyata, maka sebagian besar kemungkinan mereka yang terlibat akan mengalami apa yang disebut sebagai "learned helplessness". Artinya, proses panjang dari berbagai upaya yang telah dilakukan namun tidak membuahkan perubahan yang diinginkan menyebabkan orang-orang ini belajar menjadi tidak berdaya dan tidak mau lagi berusaha, karena mereka tidak lagi percaya akan adanya hubungan antara usaha mereka dengan hasil yang ingin dicapai (bersikap apatis). Bila hal ini terjadi pada cukup banyak anggota masyarakat kita, khususnya orang muda, kiranya akan sulit bagi bangsa kita untuk dapat bersaing secara global di abad 21 dan menjadi bangsa yang percaya akan kemampuan diri sendiri.
Kondisi  dan situasi negara dewasa ini, yang sedang dilanda berbagai kesulitan  dalam kehidupan akibat krisis moneter berkepanjangan, serta  terbongkarnya praktek-praktek pelanggaran hukum justru oleh mereka yang  seharusnya dijadikan panutan masyarakat, baik sebagai penentu kebijakan  maupun selaku aparat penegak, berdampak luas terhadap kondisi  kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Krisis kepercayaan ini  kemudian melahirkan sikap yang cenderung mengabaikan hukum. Perilaku  masyarakat yang akhir-akhir ini menunjukkan kecenderungan melanggar  hukum dalam memenuhi kebutuhannya dan ‘main hakim sendiri’ dalam  menyelesaikan masalahnya, harus ditanggapi secara sungguh-sungguh dan  tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, apalagi sampai dijadikan pola  perilaku menetap karena ‘dilegalisir’ secara tak langsung oleh pejabat  negara. Tanpa disadari pernyataan pejabat negara yang dimaksudkan  sebagai simpati terhadap kesulitan hidup yang dialami warga masyarakat  (atau justru menarik simpati masyarakat?) telah menimbulkan persepsi  yang mengesankan ‘disahkannya’ perilaku hukum yang menyimpang. Contoh:  pengungkapan dan penyelesaian masalah perbankan, tanah, operasi becak di  Jakarta, kasus orang hilang, penjarahan, dan sebagainya.
Peristiwa  huru hara di Jakarta dan kota-kota lainnya pada tanggal 13 dan 14 Mei  1998 dan hari-hari berikutnya semakin membawa negeri ini dalam keadaan  terpuruk dengan krisis kepercayaan yang sangat berat. Situasi yang tak  kunjung stabil, sementara masyarakat menantikan kepastian dalam  penegakan hukum, akhirnya menumbuhkan sikap apatis dan putus asa dengan  segala konsekuensinya. Kondisi ini mengantar pemerintah pada beban yang  amat berat, terutama dalam hal pemulihan kepercayaan masyarakat kepada  pemerintah. Diperlukan sikap yang mampu menampung aspirasi ketiga  kelompok masyarakat dalam pengembangan moral (prakonvensional,  konvensional, pascakonvensional) agar kehidupan bersama bisa ditata  kembali. Komunikasi yang digunakan, baik bentuk maupun jalurnya, harus  sangat memperhitungkan karakter kelompok masyarakat secara cermat,  sehingga tidak terjadi salah tafsir atau keliru interpretasi. Dalam  kaitan ini pernyataan pejabat, penjelasan pemerintah, penetapan  kebijakan harus mengacu pada kepentingan segala lapisan masyarakat,  dengan memperhatikan karakteristik masing-masing, sehingga dapat  dipahami dengan baik.
Bagaimana  mengubah pola perilaku masyarakat melalui hukum? Seperti telah  diuraikan terdahulu, salah satu fungsi hukum adalah untuk mengubah  perilaku masyarakat ke arah yang diinginkan. Bila dikaitkan dengan  prinsip-prinsip perubahan perilaku berarti diperlukan hukum yang  berisikan batasan perilaku yang diinginkan dan uraian yang jelas tentang  konsekuensi yang akan diterima bila hukum tersebut ditaati atau  dilanggar. Namun, agar sistem hukum yang baru dapat berfungsi secara  efektif diperlukan persyaratan berikut: Sistem hukum tersebut harus  dimengerti oleh mereka yang akan melaksanakannya maupun oleh mereka yang  akan dikenai oleh hukum tersebut. Hal ini berarti perlu dilakukan  peningkatan keahlian (memiliki expert power) dari para penegak hukum  sehingga keputusan-keputusan mereka dihargai dan dihormati oleh semua  pihak. Di samping itu perlu pula dilakukan pendidikan/penyuluhan hukum  bagi seluruh anggota masyarakat sehingga mereka mengetahui apa yang  merupakan hak mereka dan apa yang merupakan tanggung jawab mereka.  Sistem hukum tersebut harus dilaksanakan secara konsisten dan mengikat  semua warga tanpa pengecualian termasuk si pembuat hukum sendiri  (Golding, 1975). Keberhasilannya terutama akan sangat ditentukan oleh  keteladanan (memiliki referent power) dan political will dari para  pemegang kekuasaan serta komitmen dari semua pihak. Sistem hukum  tersebut didukung oleh sistem dan budaya demokratis di mana masyarakat  dan pers dapat menjalankan fungsi kontrol.
Bagaimana  proyeksi kita ke depan? Pengalaman selama enam Pelita menunjukkan bahwa  pembangunan yang hanya menekankan pertumbuhan ekonomi tanpa disertai  dengan pertumbuhan yang seimbang di bidang sosial, politik dan hukum  ternyata tidak berhasil meningkatkan daya saing kita di dunia  internasional. Berarti kita memerlukan suatu pembaharuan yang menyeluruh  sifatnya dan mencakup berbagai aspek kehidupan bangsa. Beberapa hal  yang dapat disebutkan antara lain adalah: Upaya mencerdaskan kehidupan  bangsa agar dapat menjadi  bangsa yang percaya diri dan sekaligus mampu  berkiprah di dunia internasional. Untuk mencapainya diperlukan suatu  transformasi sosio-kultural dari budaya feodal, paternalistik dan  berorientasi kekuasaan menuju budaya yang lebih bersifat demokratis,  partisipatif dan berorientasi ke depan. Untuk dapat berkiprah di dunia  internasional kita perlu memperoleh kepercayaan dari dunia  internasional. Untuk itu kita perlu memiliki hukum yang mengacu pada  nilai-nilai universal seperti penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia,  demokrasi, dan lain sebagainya. Selain itu, salah satu hal pokok yang  dapat membina kepercayaan dunia internasional ialah adanya sistem hukum  yang berwibawa dan berlandaskan asas-asas hukum modern dengan dukungan  sistem peradilan yang dapat diandalkan.
Dalam  kaitan ini perlu dipahami bahwa betapapun bagusnya rencana, sistem,  maupun kelembagaan yang diciptakan, kemungkinan berhasilnya akan sangat  kecil bila tidak didukung oleh perubahan yang mendasar dalam pola pikir,  sikap dan perilaku pada tingkat individu sebagai anggota masyarakat.
Ada dua alternatif keadaan masyarakat Indonesia berdasarkan analisis tersebut, yakni: 
menjadi bangsa yang mengalami "learned helplessness", apatis, tidak percaya diri dan tidak mampu bersaing di tatanan global atau menjadi bangsa yang memiliki self-efficacy, percaya diri dan mampu bersaing di tatanan global.
menjadi bangsa yang mengalami "learned helplessness", apatis, tidak percaya diri dan tidak mampu bersaing di tatanan global atau menjadi bangsa yang memiliki self-efficacy, percaya diri dan mampu bersaing di tatanan global.
Indonesia,  sebagai bangsa dan negara, juga secara individual, memiliki dua pilihan  tersebut. Namun, bila dilihat dari sudut belajar observasional di mana  unsur keteladanan (referent power) memegang peranan penting dalam  mengubah pola perilaku, maka sikap pemimpin bangsa dan negara ini  menjadi sangat bermakna. Semakin tinggi status seseorang dan semakin  besar kekuasaan/pengaruhnya, maka semakin menentukan pula pilihannya  bagi masa depan bangsa. 
V.        PERANAN KELUARGA DALAM PEMBENTUKAN PERILAKU DAN PROYEKSI DI ABAD 21
Suasana  pembangunan yang lebih terfokus di bidang ekonomi ditingkah dengan era  globalisasi telah mengubah tatanan kehidupan masyarakat. Tawaran untuk  menikmati gaya hidup global telah mendorong semua orang untuk sibuk  mencari uang, dengan berbagai cara. Setiap orang, laki-laki dan  perempuan, berusaha pagi dan petang. Mereka membanting tulang dan  memeras keringat untuk meraih yang terbaik demi gaya hidup global. Tentu  saja kondisi ini berpengaruh terhadap kehidupan kekeluargaan, yang  menjadi kurang terbina. Mulailah terjadi kerenggangan antara suami  istri, orang tua dan anak, yang tentunya sukar untuk diharapkan sebagai  tempat persemaian tumbuh kembang anak secara optimal. Era globalisasi  juga melahirkan kompetisi yang membutuhkan kompetensi tinggi di segala  bidang untuk bisa menjadi pemenang. Hanya yang terbaik yang bisa  memenangkan kompetisi. Akibatnya, orang tua memaksa anak meninggalkan  dunianya dan mengisinya dengan upaya pembekalan diri untuk dapat meraih  kompetensi sebanyak-banyaknya. Dunia kanak-kanak yang ceria tak lagi  bisa dinikmati, berganti dengan jadwal ketat yang mengantarnya pada  situasi yang selalu serius dan memandang jauh ke depan. ‘Paksaan’ yang  melanda anak dalam penafsiran era globalisasi di bidang ekonomi ini  tentunya bisa berdampak negatif terhadap perkembangan anak di kemudian  hari, baik terhadap kehidupan pribadinya maupun dalam kehidupan  bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 
Newman  & Newman (1981) menyebutkan tiga unsur pendukung kemampuan  seseorang untuk bisa menyesuaikan diri dengan baik, yaitu dirinya  sendiri, lingkungan dan situasi krisis dalam pengalaman hidupnya yang  sangat membekas dalam dirinya. Pada unsur pribadi (diri sendiri)  tercakup kemampuan untuk bisa merasa, berpikir, memberikan alasan,  kemauan belajar, identifikasi, kesediaan menerima kenyataan, dan  kemampuan memberikan respon sosial. Kemampuan tersebut didasari oleh  tingkat kecerdasan yang dimiliki, temperamen, bakat, dan aspek genetika.  Berdasarkan konsep tersebut maka proses penyesuaian diri bagi anggota  masyarakat merupakan keterkaitan yang sangat erat antara kondisi  pribadi, situasi lingkungan dan kemampuan mengelola pengalaman. 
Pembentukan  perilaku normatif dimulai dari pengenalan terhadap aturan yang berlaku  dan terapannya dalam kehidupan sehari-hari, yang kemudian menjadi  pengalaman yang terekam dalam kehidupan seseorang. Selanjutnya, dengan  bekal kemampuan yang dimilikinya, terjadi proses pengambilalihan norma  di luar diri menjadi pengembangan nilai-nilai yang dijadikan pegangan  dalam berperilaku (internalisasi). Tergantung dari tingkat kematangan  pribadinya, pengembangan nilai dalam diri sendiri bisa dilakukan secara  mandiri, bahkan bernuansa luas, dan mampu dipertahankan secara tangguh  dalam berbagai kondisi dan situasi. Pada tingkat seperti ini orang  tersebut tidak akan mudah terpengaruh atau terbawa suasana lingkungan.  Dia tahu memilih yang benar, yang perlu, yang bermanfaat dan bisa dengan  mudah membedakannya dari hal-hal yang bisa merugikan pribadi maupun  lingkungannya. Pengalamannya berpadu dengan penalaran pikirnya,  menghasilkan dialog yang terus menerus sebelum memutuskan sikap dan  perilaku dengan kesadaran terhadap konsekuensinya, baik untuk diri  sendiri maupun lingkungan.
Sikap  dan perilaku orang tua sebagai anggota masyarakat yang menampilkan gaya  hidup dan etos kerja serta pengembangan interaksi dengan lingkungan  akan direkam anak, baik untuk kepentingan belajar instrumental maupun  belajar observasional. Perilaku masyarakat menuju abad 21 tidak lagi  mencerminkan setia kawan, gotong royong seperti yang tampak di era  sebelumnya. Perilaku itu cenderung meluntur, terutama di kota-kota  besar. Tingkah laku manusia di kota besar lebih mengarah pada kesibukan  pribadi, tidak acuh, tidak peduli terhadap mereka yang kurang beruntung  (individualis). "Pokoknya saya senang, saya berhasil, saya bisa meraih  semuanya. Apa yang terjadi dengan orang lain, bukan urusan saya," kata  si individualis, yang juga masuk ke dalam rekaman anak dan bukan tak  mungkin dijadikannya pola bertingkah laku.
Ketidakpastian  dalam penegakan hukum berdampak pula pada perilaku yang ditampilkan  orang tua dan anggota masyarakat lainnya dalam bekerja dan  berorganisasi, yang selanjutnya bisa dijadikan acuan oleh anak dalam  mengembangkan dirinya. Tindakan yang lebih suka memilih jalan pintas  untuk mencapai tujuan, tidak tepat waktu, unjuk kerja seadanya, lebih  menuntut fasilitas daripada tanggung jawab adalah melunturnya etos kerja  yang diamati anak dengan leluasa, di dalam maupun di luar rumah (orang  tuanya sendiri maupun orang tua lainnya). Sikap mau menang sendiri,  tidak adanya kepatuhan terhadap hukum, pelanggaran terhadap tata tertib  yang berlaku adalah ketidakdisiplinan pribadi yang bisa ditangkap anak  dari orang tua dan lingkungannya. Tindak kejahatan dengan kekerasan,  baik yang berupa pengrusakan, perampokan, penyiksaan, perkosaan juga  pertikaian yang diakhiri dengan pembunuhan, walaupun penyebabnya mungkin  sepele, adalah agresivitas yang masuk dalam benak anak dan bisa menjadi  referensi dalam menjalani kehidupannya. Kesenangan berlebihan terhadap  barang-barang simbol teknologi canggih dan kemapanan serta kenyamanan  hidup sebagai kecenderungan hidup materialistik bisa dijadikan dasar  pola pembentukan perilakunya. Penggunaan berlebih terhadap produk  teknologi canggih tanpa memperhatikan kondisi lingkungan yang bisa  dikatakan sebagai kecenderungan pendewaan teknologi adalah referensi  lain yang sewaktu-waktu siap ditampilkan anak. Meningkatnya frekuensi  dan intensitas perkelahian antar kelompok remaja dan dewasa muda adalah  situasi lain yang diamati anak. Mereka melihat mengurangnya kemampuan  menalar, komunikasi dan penyelesaian masalah melalui dialog di antara  pelaku-pelakunya. Dalam hal ini pengaruh media massa terasa sangat  bermakna. 
Kesibukan  kota besar yang segera merambah pelosok lainnya dengan gerak hidup  cepat, bertubinya rangsangan kegiatan dan mobilitas pribadi yang tinggi  menempatkan individu dalam situasi yang dilematis. Situasi tersebut  membuat individu harus memilih antara pencarian kegiatan yang didasari  oleh minat pribadi dengan pelestarian ikatan dan fungsi utama keluarga  sebagai sarana dalam menyiapkan anggotanya untuk hidup bermasyarakat.  Kecenderungan ini oleh para ahli dianggap sebagai melunturnya fungsi  utama keluarga. Fokus perhatian yang lebih mengarah pada tugas-tugas di  luar rumah agar tak kalah bersaing kemudian menjadi pilihan orang tua  dan sekaligus menempatkan anak dalam kekosongan yang cukup bermakna,  terutama dalam upaya pembentukan hati nurani yang akan menjadi  pemandunya kelak, sebagai orang yang tangguh, mandiri, tapi juga peduli  lingkungan dengan warna spiritual yang kental dan luwes. Apakah orang  tua dan masyarakat menyadari kepentingan ini, juga bahwa masa depan  bangsa dan negara ada di tangan anak-anak yang sekarang menjadi penonton  dan pengamat perilaku orang tua, baik yang ada di rumahnya maupun di  masyarakat, apapun peran dan fungsinya? Seberapa jauh kita menyiapkan  anak-anak agar bisa berkualitas tinggi dalam abad 21 nanti? 
Pendidikan  adalah upaya membekali anak dengan ilmu dan iman agar ia mampu  menghadapi dan menjalani kehidupannya dengan baik, serta mampu mengatasi  permasalahannya secara mandiri. Bekal itu diperlukan karena orang tua  tidak mungkin mendampingi anak terus menerus, melindungi dan membantunya  dari berbagai keadaan dan kesulitan yang dihadapinya. Anak tidak akan  selamanya menjadi anak. Dia akan berkembang menjadi manusia dewasa.  Kalau perkembangan fisiknya secara umum berjalan sesuai dengan  pertambahan umurnya, maka kemampuan kecerdasan dan perkembangan emosi  serta proses adaptasi atau penyesuaian diri dan ketakwaannya sangat  memerlukan asuhan dan pendidikan untuk bisa berkembang optimal. Melalui  bekal pendidikan dan proses perkembangan yang dialaminya selama  mendapatkan asuhan dari lingkungannya, diharapkan anak akan mampu  menyongsong dan menjalani masa depannya dengan baik.
Memberi  bekal adalah sikap yang mencerminkan pemikiran dan pandangan ke depan.  Artinya, kondisi atau keadaan dan situasi yang akan dihadapi anak  nantinya, ketika ia sudah menjadi orang dewasa, sangat perlu  diperhitungkan. Kehidupan berjalan ke depan. Jadi, sangatlah penting  mempertimbangkan kondisi dan situasi di masa depan itu dalam upaya  memberikan bekal kepada anak. Sosok manusia dewasa hasil asuhan dan  pendidikan orang tua dalam kurun waktu sekarang akan terlihat secara  jelas dalam perkembangan anak menjadi orang dewasa. Berhasilkah  pendidikan dan asuhan yang telah diberikan? Tercapaikah harapan dan  cita-cita atau impian orang tua? Bahagiakah anak dengan yang diperoleh  dan dimilikinya? Mampukah ia menjadi sosok pribadi yang diangankannya  sendiri, yang mungkin sama dengan harapan orang tua dan lingkungan  pendidiknya yang lain? Semua jawaban itu baru akan tampak nanti, ketika  anak sudah menjadi dewasa. 
Latar  belakang pengertian tersebut hendaknya menjadi dasar pengembangan pola  asuhan dan pendidikan untuk anak. Biasanya pendidikan diberikan  berdasarkan pengalaman masa lalu, yakni ketika yang menjadi orang tua  masih berstatus kanak-kanak, yang menerima pendidikan dari orang tuanya.  Pengalaman masa lalu ini kerap kali cukup mewarnai pola asuhan dan  pendidikan anak. Pemanfaatan pengalaman memang selalu ada gunanya. Akan  tetapi sikap yang mampu mengantisipasi ke depan juga sangat penting,  karena anak tidak akan hidup di masa lalu, tetapi menapak ke masa depan.  Dengan demikian posisi pengalaman ketika menerima didikan dan asuhan  orang tua di masa lalu hanyalah pantas sebagai acuan atau referensi,  terutama dalam rangka mengembangkan empati (penghayatan, kemampuan  merabarasakan dari sudut pandang atau posisi orang lain) agar  komunikasinya bisa berjalan seperti yang diharapkan. Terapan pengalaman  masa lalu ayah ibu, ketika dididik dan diasuh orang tuanya, perlu  disesuaikan dengan kondisi dan situasi perkembangan jaman. Tanpa  penyesuaian, pola asuh dan pendidikan yang dilakukan akan cenderung  menyulitkan anak dalam perkembangannya, sehingga iapun akan tumbuh  menjadi sosok pribadi yang sukar menemukan konsep diri, sulit  menyesuaikan diri dan tentunya sulit mengaktualisasikan diri. 
Proses  pendidikan berlangsung dinamis, sesuai dengan kondisi perkembangan  pribadi anak dan situasi lingkungan. Era globalisasi yang menandai abad  21 seyogianya tidak hanya dilihat sebagai hal yang mengancam, dengan  dampak kecemasan atau kekhawatiran dalam mendidik anak, yang mungkin  hanya akan menghasilkan kondisi perkembangan yang kurang menguntungkan.  Kecemasan dan kekhawatiran biasanya akan menyebabkan orang tua menjadi  tegang dan tertekan sehingga kurang mampu melihat alternatif, lalu  justru menekan anak padahal tindakan itu lebih ditujukan untuk dapat  menenteramkan dirinya sendiri.
Kondisi  jaman dalam era globalisasi justru bisa dimanfaatkan untuk membangun  sosok-sosok pribadi yang tangguh dan mandiri, antara lain karena  terbiasa menghadapi persaingan yang ketat dan mampu memanfaatkan  fasilitas dan peluang yang dibukakan oleh "pintu globalisasi." Untuk itu  orang tua sangat perlu menyadari, bahwa kehidupan terus berkembang  sesuai perputaran dunia, jaman pun berubah. Sangat diperlukan kemampuan  dan kemauan untuk mengikuti perubahan dan senantiasa menyesuaikan diri. 
Perubahan  kondisi dan situasi orang tua dalam menjalankan peran dan fungsinya  selaku pengasuh dan pendidik anak perlu diikuti dengan upaya menambah  pengetahuan, meluaskan wawasan, dan meningkatkan keterampilan. Dengan  sikap ini maka orang tua pun bisa diharapkan melaksanakan tugasnya dalam  mengarahkan, membimbing, mendorong, membantu anak serta mengusahakan  peluang/kesempatan untuk berprestasi optimal, sesuai dengan  kemampuannya. Berpikir positif dan bersikap adaptif adalah sikap yang  diharapkan dari para orang tua yang kini tengah mendidik dan mengasuh  anak-anak yang akan memasuki era globalisasi. Tugas ini tentunya tidak  hanya menjadi tanggung jawab ibu. Bersama, ayah dan ibu menyikapi  perubahan jaman dalam kondisi yang lebih menguntungkan bagi anak,  sehingga ia mampu menyongsong era globalisasi dengan keyakinan diri yang  kuat, berdasarkan bekal yang diperolehnya dan kepercayaan akan rakhmat  dan karunia-NYA.
VI. BEBERAPA PEMIKIRAN TENTANG KUALITAS MANUSIA INDONESIA
Dari  berbagai pembahasan mengenai kualitas manusia Indonesia dalam periode  Orde Baru yang memfokuskan pembangunan di bidang ekonomi, terlihat  kecenderungan untuk menyimpulkan beberapa insiden sebagai gambaran  manusia Indonesia dewasa ini yang lebih menandakan sikap instrumental,  egosentris, kurang peka terhadap lingkungannya, konsumtif, dan melakukan  jalan pintas untuk mencapai kepuasan pribadi. Bernadette N. Setiadi dan  kawan-kawan dalam penelitiannya (1989) menemukan hal-hal yang  menguatkan pengamatan tersebut. Menurutnya, kualitas manusia Indonesia  diwarnai oleh kurangnya etos kerja dan sangat berorientasi pada hasil  akhir tanpa atau kurang memperhatikan proses pencapaian hasil akhir.  Enoch Markum (1984) mengemukakan bahwa untuk menyongsong pembangunan  tahun 2000 mendatang secara mutlak diperlukan manusia Indonesia dengan  karakteristik tingkah laku seperti kemandirian, kerja keras, gigih dan  prestatif. Saparinah Sadli dan kawan-kawan (1985) dalam penelitian  tentang sistem nilai masyarakat kota besar yang dilakukan pada  pertengahan dekade delapanpuluhan menemukan bahwa masyarakat kota  mempunyai besar nilai terminal (preverensi tujuan hidup) yang diwarnai  dengan hal-hal yang sifatnya materi. Sedangkan nilai instrumental  (preverensi cara-cara pencapaian tujuan hidup) lebih ditandai oleh  pengutamaan kompetensi pribadi.
Abad  21 yang memunculkan situasi makin terbukanya hubungan antar  bangsa/negara membuat batasan sebelumnya menjadi tipis, sehingga  berlangsung persentuhan aspek kehidupan mental psikologis, ekonomi,  sosial, budaya. Bila dikaitkan dengan proses pembentukan tingkah laku  manusia, maka proses globalisasi membawa kemungkinan sebagai berikut: 
terjadi peningkatan interaksi, interdependensi dan saling pengaruh
terbuka pilihan pengembangan diri yang memerlukan penyesuaian prioritas tindakan secara terus menerus sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya. Secara psikologis terjadi perubahan kognitif, perubahan kebutuhan, yang kemudian membawa pembentukan nilai (pemberian skala prioritas) terhadap hal-hal yang dianggap bermakna dalam hidupnya.
terjadi peningkatan interaksi, interdependensi dan saling pengaruh
terbuka pilihan pengembangan diri yang memerlukan penyesuaian prioritas tindakan secara terus menerus sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya. Secara psikologis terjadi perubahan kognitif, perubahan kebutuhan, yang kemudian membawa pembentukan nilai (pemberian skala prioritas) terhadap hal-hal yang dianggap bermakna dalam hidupnya.
La  Piere (1981) mengartikan pembangunan sebagai suatu usaha yang secara  sistematis direncanakan dan dilakukan untuk merubah kondisi masyarakat  yang ada ke arah kondisi dan taraf kehidupan yang lebih santun. Di sini  terkandung arti bahwa pembangunan sebenarnya merupakan suatu perubahan  sosial, yang mau tidak mau merujuk pada terjadinya perubahan tingkah  laku individu warga masyarakat yang sedang membangun. Fuad Hassan  menyatakan bahwa hakiki manusia adalah kemampuan manusia untuk menjadi  dirinya sendiri dan kemudian mengembangkan kehidupannya dalam suatu  keadaan yang menjadi pilihannya. Manusia berpeluang untuk diarahkan agar  bisa menumbuhkan motivasi, sehingga di setiap saat dan situasi ia  selalu berusaha mencari peluang dan kesempatan yang menarik keinginan  dan perhatiannya untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri. Di setiap  saat dan situasi manusia dihadapkan pada berbagai alternatif pilihan. Ia  memerlukan kebebasan untuk dapat menentukan pilihan yang baik, yaitu  pilihan dengan kapasitas, bakat serta minat atau kebutuhannya secara  umum. Dengan kebebasan itu barulah ia leluasa melakukan aktuialisasi  diri, menentukan arah dan pengembangan hidupnya. 
Mempelajari  hakiki manusia sebagai mahluk sosial, jelas bahwa ia membutuhkan  kehadiran manusia lainnya, kebutuhan untuk berkelompok dan menjadi  bagian dari kelompok. Membanjirnya peluang, kesempatan dan pilhan untuk  aktualisasi diri sering membuat manusia hanyut sehingga melupakan hakiki  yang sangat mendasar. Terbawanya manusia dalam banjir informasi  menyebabkan kekaburan manusia untuk memahami perbedaan antara kebutuhan  dengan keserakahan (needs and greed), butuh dan ingin (wish and need)  yang kemudian mendorong manusia untuk secara terus menerus terlibat  dalam kegiatan pemuasan pribadi. Dia lalu berkembang menjadi mahluk yang  egosentris dan instrumental. Mereka yang tidak mampu sehingga tidak  mungkin memenuhi kebutuhan aktualisasi diri akan memunculkan pesimisme  dan kekhawatiran, yang bisa melahirkan ketidakpuasan dan protes terhadap  kejadian di lingkungannya. Disonansi, kesenjangan generasi, kesenjangan  kelas sosial-ekonomi, adalah efek samping lainnya karena usaha yang  dilakukan tidak lagi sekadar ingin memiliki tetapi juga memuaskan,  sementara kepuasan sifatnya relatif dan cenderung tidak berujung.  Keserakahan menampilkan wajah egosentris yang kemudian melepaskan diri  dari kasih sayang (Gromm). Kemudahan komunikasi membuat individu  melupakan peran-peran lain dalam kehidupan, terutama yang menyangkut  kehidupan interdependensi. AKU menjadi sangat menonjol. Situasi ini bisa  menjadi pemicu bagi pemunculan pribadi yang kehilangan kontrol diri. 
Psikologi  sebagai ilmu yang kajian utamanya adalah perilaku manusia terkait erat  dengan telaah proses pembentukan perilaku, yang hasilnya bisa  disumbangkan sebagai intervensi dalam pembentukan perilaku Manusia  Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi. Keterlibatan dalam upaya  rekayasa tingkah laku, baik dalam kapasitas sebagai sarana belajar  maupun bimbingan dan penyuluhan, perlu dilakukan untuk mendapatkan  wawasan tentang konteks dan lingkungan serta eksistensi manusia. Cara  yang bisa ditempuh dalam upaya rekayasa ini adalah melakukan usaha yang  berkesinambungan dengan memperhitungkan dukungan kelompok maupun  dukungan masyarakat. Untuk itu kerjasama dengan berbagai disiplin ilmu  lainnya terasa sangat bermakna. Psikologi akan memfokuskan pada upaya  pembangkitan kebutuhan untuk berubah agar bisa menjadi pendorong  (motivasi) dalam proses perubahan tingkah laku yang diharapkan.  Pembekalan individu dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup harus  dilakukan agar ia mampu melaksanakan perubahan tingkah laku yang  diharapkan, yang sudah beralih menjadi kebutuhan pribadi dan bukan  kebutuhan yang bersifat eksternal. Dalam upaya ini harus diciptakan  kesempatan bagi individu untuk memecahkan masalah berkaitan dengan  adopsi tingkah laku dalam kondisi nyata. Penelitian yang dilakukan oleh  Bernadette N. Setiadi (1987), Yaumil A. Achir (1990), Iman Santoso  Sukardi (1991) dan Soesmaliyah Soewondo (1991) membuktikan bahwa usaha  merubah tingkah laku manusia dapat dilakukan melalui intervensi  terencana perubahan tingkah laku. 
Dengan  mengembangkan teori serta intervensi dalam pola asuh yang khas  Indonesia, pengalaman daur belajar Kolb dan intervensi perubahan tingkah  laku Mc Clelland yang diadaptasikan ke Indonesia serta pengembangan  intervensi lain dalam keterampilan hubungan antar manusia, membuktikan  bahwa psikologi mampu berbuat sesuatu dalam rangka menyongsong era  globalisasi. Yang diperlukan adalah intervensi terencana yang menekankan  analisis kebutuhan individu dan masyarakat, pengembangan iklim belajar  partisipatif, penciptaan dukungan kelompok serta pemanfaatan seluruh  sumber sebagai sarana belajar. Dalam rekayasa terencana perlu dilihat,  mana nilai-nilai tradisional yang masih bisa dipertahankan dan  dikembangkan, mana pula yang harus ditinggalkan karena sudah tidak  sesuai, bahkan bisa menghambat. 
Dalam  rangka globalisasi ternyata manusia Indonesia mengalami perubahan peta  kognitif, pengembangan dan kemajemukan kebutuhan serta pergeseran  prioritas dalam tata nilainya. Kesemuanya tampil dalam perilakunya yang  egosentris, instrumental, jalan pintas, etos kerja yag lemah dan kurang  peka terhadap masalah yang tidak menyangkut kepentingannya. Padahal era  abad 21 memerlukan manusia Indonesia yang tangguh, yang harus  menampilkan tingkah laku yang diwarnai dengan etos kerja, prestatif,  religius, peka terhadap lingkungan, inovatif dan mandiri. Pertanyaannya  adalah, sejauh mana manusia Indonesia bisa dibantu untuk menemukan jati  dirinya dan mampu beradaptasi terhadap tarikan dan pengaruh globalisasi  masyarakat dunia. Selain itu perlu dicermati pula, berapa banyak yang  ‘masih tersisa’ saat ini untuk bisa diajak memasuki abad 21 secara  produktif? Berapa bagian dan seberapa luas kerusakan yang sudah terjadi?  Di lapisan mana kerusakan itu terjadi dan di tingkat mana yang masih  menjanjikan harapan untuk pembentukan perilaku yang adaptif dalam  memasuki abad 21?
VII. PENGEMBANGAN POLA PERILAKU MANUSIA INDONESIA YANG BERKUALITAS TINGGI DALAM MASYARAKAT ABAD 21
Sebagaimana  telah diuraikan di atas, ada dua kemungkinan pembentukan pola perilaku  manusia Indonesia dalam memasuki abad 21, yang diwarnai oleh latar  belakang sejarah bangsa dan negara selama ini, yaitu: menjadi bangsa  yang memiliki self efficacy menjadi bangsa yang mengalami learned  helplessness
Era  Reformasi membukakan kenyataan, betapa banyak unsur penting lainnya  dalam upaya pengembangan Manusia Indonesia yang seolah terlupakan dalam  membangun bangsa dan negara dalam masa Orde Baru, yang antara lain  menjadi penyebab munculnya perilaku yang mengarah kepada perbuatan  Korupsi, Kolusi, Koncoisme, Nepotisme (KKKN). Kesadaran tersebut lalu  mendorong keinginan untuk membenahi perilaku Manusia Indonesia dari  sikap yang cenderung KKKN menjadi perilaku yang Bersih, Transparan,  Profesional. Keinginan untuk memunculkan Manusia Indonesia yang bersih,  transparan, dan profesional dalam menjalani kehidupannya sangat  diperlukan, apapun yang dilakukannya, di manapun posisinya. Kehidupan  Abad 21 menyiratkan tantangan yang lebih luas dalam berkompetisi di era  globalisasi. Pengembangan perilaku bersih, transparan, dan profesional  menjadi persyaratan bagi Manusia Indonesia agar bisa berkualitas tinggi  dan mampu mengambil posisi dalam persaingan di kancah dunia dan  memanfaatkannya dengan baik. Sebaliknya, perilaku yang mencerminkan KKKN  harus ditinggalkan. 
Peristiwa  di Bulan Mei 1998 dan hari-hari berikutnya telah menunjukkan betapa  kompleksnya permasalahan yang harus diperhatikan dalam upaya  meningkatkan kualitas Manusia Indonesia. Ada masalah budaya, ada masalah  sosial, ada masalah agama yang secara psikologis menjadi dasar  pengembangan sikap dan perilaku, selain masalah ekonomi dan harapan  untuk bisa mengambil posisi dalam mengantisipasi globalisasi dan  perkembangan teknologi. Pemahaman diri sebagai Manusia Indonesia perlu  dimiliki agar dapat menempatkan diri dan mengembangkan hubungan dengan  lingkungan, baik dalam skala kecil maupun percaturan yang lebih luas.  Negara dan bangsa memerlukan Manusia Indonesia yang mencerminkan  pandangan, sikap, dan perilaku warga Republik Indonesia (siapapun dia,  dari kelompok mana pun - etnik, kelas sosial, agama, pendidikan,  kemampuan ekonomi). Era globalisasi yang semakin terasa denyutnya  memerlukan penampilan Manusia Indonesia yang berkualitas tinggi,  sehingga dapat mengikuti perkembangan dunia, yang selanjutnya akan dapat  menghasilkan peran serta aktif di berbagai bidang (pertanian,  perdagangan, perindustrian, teknologi, kesehatan, pendidikan, dan  sebagainya). 
Manusia  Indonesia yang berkualitas tinggi, dengan latar belakang berbagai  periode yang telah dijalaninya memerlukan kajian lintas disiplin ilmu  agar bisa dirumuskan secara jelas dan tegas. Dalam kaitan ini sangat  disadari bahwa kompleksitas permasalahan yang dihadapi dalam  memunculkannya sekaligus mensyaratkan adanya dialog/komunikasi yang  bersifat saling isi dan melengkapi antar berbagai ilmu yang terkait,  sesuai dengan kondisi dan situasinya. Forum Organisasi Profesi Ilmiah  Indonesia (FOPI) yang beranggotakan berbagai Organisasi Profesi Ilmiah  (OPI) diharapkan secara ilmiah mampu merumuskan Manusia Indonesia Abad  21 Yang Berkualitas Tinggi sehingga arah pembangunan bangsa dan negara  pun bisa ditata lebih baik. Untuk itu perlu dicarikan upaya agar dapat  memberdayakan Manusia Indonesia dengan meningkatkan kualitas ketangguhan  dan kemandirian dengan tetap peduli lingkungan (alam, sosial, budaya)  sehingga lebih mampu menyikapi berbagai perubahan kondisi dan situasi.  Hasil kajian tersebut diharapkan dapat memunculkan karakteristik Manusia  Indonesia yang berkualitas tinggi, yang menggambarkan manusia dan  budayanya (akhlak, moral, budi pekerti) serta kaitannya dengan kehidupan  lingkungan (kependudukan, politik, ekonomi, sosial, alam). Gambaran  tersebut kemudian dikaitkan dengan kondisi dan situasi yang harus  dihadapi masyarakat Indonesia di masa depan, sehingga bisa dicarikan  berbagai alternatif upaya yang perlu dan harus dilakukan agar Manusia  Indonesia bisa menerima dan memahami dirinya serta mampu menyesuaikan  diri dengan kondisi dan situasi lingkungan pada jamannya. 
John  J. Macionis (1996) mengemukakan bahwa abad 21 menyiratkan  ketidakjelasan terhadap ukuran keberhasilan yang bisa dijadikan  keteladanan. Sukar sekali menutupi kejadian yang tak ingin  disebarluaskan, baik untuk pertimbangan menghormati hak asasi manusia  maupun kecanggihan teknologi komunikasi. Banyak masalah yang masih harus  dijawab dalam memasuki abad 21, antara lain merumuskan makna kehidupan,  pemecahan sengketa/konflik antar bangsa/negara, pengentasan kemiskinan  yang tidak hanya terkait dengan masalah populasi (pertambahan penduduk)  dalam hubungannya dengan ketersediaan sumber daya alam yang makin  terbatas. Abad 21 mengisaratkan perlunya wawasan pikir yang lebih luas,  imajinasi, rasa kasihan atau simpati, dan keteguhan hati. Pemahaman yang  luas terhadap kehidupan bersama akan menjadi dasar yang kuat bagi upaya  membantu manusia memasuki abad 21 dengan sikap optimis.
Ada  lima cara yang dikemukakan Macionis dalam pembentukan perilaku yang  mencerminkan pemahaman sosialisasi, yaitu: teori Id, Ego, Superego dari  Sigmund Freud (1856-1939) teori Perkembangan Kognitif dari Jean Piaget  (1896-1980) teori Perkembangan Moral dari Lawrence Kohlberg (1981) teori  Gender dari Carol Gilligan (1982) teori "Social Self" dari George  Herbert Mead (1863-1931)
Jalur  yang bisa digunakan untuk membentuk perilaku yang mencerminkan  kemampuan sosialisasi adalah:  keluarga sekolah kelompok sebaya media  massa opini public.
Sedangkan  proses sosialisasi bisa berlangsung sepanjang kehidupan, yakni sejak  kanak-kanak, pra remaja, remaja, dewasa muda, dewasa, lanjut usia. 
Harapan  untuk dapat membantu masyarakat dalam mewujudkan perilaku Manusia  Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi bisa mengacu pada kerangka  pikir tersebut (untuk pemahaman, proses dan pembentukan perilaku dalam  upaya sosialisasi), terutama dalam upaya membentuk manusia yang cerdas,  terampil, tangguh, mandiri, berdaya saing tinggi tapi juga punya hati  nurani, yang membuatnya peduli dan tidak individualis. Untuk itu perlu  dipahami dulu kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Berdasarkan teori  perkembangan moral dari Kohlberg, masyarakat Indonesia terbagi dalam  tiga kelompok moralitas. Kelompok pertama menyandarkan perilakunya pada  pengertian benar dan salah, baik dan buruk berdasarkan reaksi yang  diterimanya dari lingkungan. Bagi kelompok ini, keputusan benar salah,  baik buruk harus bisa dipahami secara nyata, bukan sesuatu yang bersifat  abstrak. Bentuk hukuman dan pujian/penghargaan harus dipahami sesuai  dengan tingkat kemampuan mereka, antara lain taraf kecerdasannya.  Penempatan patung-patung polisi lalu lintas di berbagai kota (Bogor,  pinggiran kota Bandung, Surabaya, Padang) adalah contoh pemahaman "hitam  putih" dalam usaha pengawasan perilaku. Kehadiran polisi secara fisik  (terlihat) menjadi penting daripada hanya sekadar penempatan rambu-rambu  lalu lintas. Kelompok ini lebih terfokus pada pikiran dan  pertimbangannya sendiri, menggunakan ukurannya sendiri dan tidak terlalu  mampu mempertimbangkannya dalam perspektif yang lebih luas. Kelompok  kedua sudah lebih luas pandangannya, sehingga pemahaman terhadap norma  dalam kehidupan bersama, yang mengacu pada kehidupan bersama, bisa  diharapkan. Kepedulian dan kebutuhan mendapatkan predikat sebagai warga  masyarakat yang baik sudah dimiliki. Kelompok ketiga memiliki tingkat  pemahaman dan kesadaran yang lebih tinggi mengenai perlunya norma dalam  kehidupan bersama agar dapat mencapai rasa aman dan nyaman.  Pengelompokan tersebut seharusnya dijadikan patokan dalam mengembangkan  aturan berikut sanksinya. Meskipun secara umum tetap bersumber pada  acuan hukum yang sama, tetapi dalam penyampaian informasi dan terapannya  sangat perlu memperhatikan kondisi psikologis masing-masing kelompok,  sehingga bisa diterima dan dilaksanakan dengan baik.
Bagi  masyarakat Indonesia yang secara mayoritas mencerminkan pola  patrilineal, adanya figur yang bisa dijadikan pegangan menjadi sangat  penting. Figur tersebut harus dapat mencerminkan tokoh yang dikagumi dan  bisa dipercaya, yang antara lain bisa dilihat dari sikap dan  perilakunya dalam kehidupan keseharian sebagai pribadi maupun dalam  melaksanakan tugasnya. Perasaan diperlakukan secara adil, yang antara  lain merasa memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan hukum, menjadi  syarat utama bagi tumbuhnya kepercayaan kepada pimpinan negara dan  aparat penegak hukum. Segala bentuk kekecualian akan mengurangi bobot  aturan yang ditetapkan. Apalagi kalau figur yang seharusnya menjadi  panutan ternyata menampilkan perilaku yang tidak sesuai dengan aturan  yang telah disepakati bersama. Bentuk masyarakat Indonesia yang sangat  heterogen juga harus diperhatikan. Sejalan dengan hal tersebut maka  penyusunan undang-undang dan peraturan penjelasan serta kelengkapannya  harus disampaikan dalam bentuk komunikasi yang efektif, sesuai  karakteristik masing-masing kelompok. 
Untuk  bisa menjaga agar perilaku masyarakat tetap produktif dalam upaya  menegakkan kewibawaan pemerintah, ketertiban dan ketenteraman bersama,  masyarakat yang seolah baru terbangun dan mulai sadar atas hak-haknya  sebagai individu maupun sebagai warga negara, yang kemudian memunculkan  berbagai bentuk perilaku ‘terkejut’ harus segera diarahkan dan  dibimbing, sehingga reformasi bisa tetap sesuai dengan jiwanya ketika  diperjuangkan oleh mahasiswa. Perilaku beberapa pihak yang saling  tunjuk, saling menghujat, saling menghakimi tanpa mengindahkan prosedur  hukum/aturan/tatanan yang berlaku perlu segera diatasi, sebelum  menyesatkan masyarakat dalam pengembangan pola pikir dan tindakan yang  jauh dari kehidupan sadar hukum. 
Pemulihan  kepercayaan masyarakat tidak hanya diperlukan untuk mengembalikan  kondisi dalam negeri, tetapi juga bagi dunia internasional dalam  menentukan sikap dan kebijaksanaan politik maupun ekonomi terhadap  Indonesia. Beban psikologis ini amat berat. Persoalannya adalah seberapa  jauh pemerintah dan seluruh jajarannya menyadari hal ini? Apakah  masyarakat juga bisa melihat persoalan ini dalam skala pikir yang lebih  luas dari hanya sekadar memikirkan kepentingannya sendiri? Dapatkah  mereka melihat dirinya sebagai bagian dari kepentingan bersama, selaku  anggota masyarakat dan warga negara? Pemerintah dan masyarakat harus  bersama-sama menyelesaikan persoalan ini sebagai kepentingan yang tak  bisa ditawar untuk dapat mempertahankan keutuhan dan kesatuan bangsa dan  negara. Untuk itu sangat perlu dimasyarakatkan secara luas dan terbuka  mengenai kondisi dan situasi yang dihadapi bersama agar pemerintah dan  masyarakat bisa bahu membahu dalam upaya penyelesaiannya, yang tentunya  harus sangat memperhitungkan karakter masing-masing kelompok, sehingga  bentuk dan jalur penyampaiannya bisa disesuaikan dan kemudian bisa  dipahami sebagaimana mestinya.
Hal  lain yang memerlukan perhatian pemerintah untuk dapat memulihkan  kepercayaan masyarakat kepada pemerintah adalah koordinasi yang baik  antara seluruh aparat/jajaran pemerintah. Pernyataan dan tindakan yang  terkesan kontradiktif antar departemen harus dihindarkan. Sebelum  memberikan pernyataan, baik sebagai tanggapan maupun rumusan  kebijaksanaan, seyogianya sudah ada pemahaman dan kesepakatan di antara  para anggota kabinet dan aparat/jajaran di bawahnya yang terkait. Dengan  demikian masyarakat tidak seperti penonton yang kebingungan, sebab  tidak ada yang bisa dijadikan pegangan secara jelas, yang akibatnya  memunculkan perilaku yang dikembangkan atas interpretasi sendiri.  Kondisi ini dapat memunculkan situasi yang rawan bagi kehidupan bersama,  sebab tak ada acuan yang jelas dan tak ada kepastian yang bisa  dipercaya untuk dijadikan pedoman.
Transparansi  atau keterbukaan dalam menjalankan pemerintahan masih perlu dilakukan  secara selektif, sesuai karakter masyarakat yang dihadapi supaya tidak  berubah menjadi bentuk perilaku yang seenaknya menuntut dan menghujat  orang/pihak lain, sedangkan di sisi lain menepuk dada atau menganggap  diri paling benar dan bersih. Kehidupan demokrasi yang sesungguhnya  harus dijabarkan secara operasional di tiap tingkatan kemampuan  masyarakat dalam memahaminya, sesuai karakter kelompok-kelompok yang  ada. Pendekatan persuasif dan tidak sekadar responsif sangat diperlukan,  yang bisa dilakukan dalam bentuk pendidikan masyarakat dalam hal  kesadaran hidup berbangsa dan bernegara, yang menyiratkan rasa  kebersamaan, bahu membahu, saling isi, saling melengkapi. Tatanan  kehidupan menurut adat dan agama harus jelas posisinya dalam tatanan  hukum negara, sehingga aspirasi dan kebutuhan masyarakat bisa tertampung  dengan baik dan tidak menimbulkan gejolak yang merugikan kehidupan  bersama. Aturan yang meliputi seluruh kehidupan, antara lain dalam  ketentuan mengenai tanah adat, kehidupan beragama, kehidupan masyarakat  yang berlandaskan bhinneka tunggal ika, kesempatan memperoleh  pendidikan/pekerjaan, kenyamanan dan jaminan keamanan dalam bekerja,  corak kehidupan perkawinan/keluarga sesuai kondisi jaman perlu ditelaah  untuk bisa memenuhi aspirasi masyarakat.
VIII. PENUTUP
Manusia  Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi ditandai oleh lima ciri utama  dari aspek-aspek perkembangan yang berlangsung secara seimbang dan  selaras, yaitu perkembangan tubuh (fisik), kecerdasan (inteligensi),  emosional (afeksi), sosialisasi, spiritual. Pola perawatan, asuhan, dan  pendidikan anak hendaknya mengacu pada upaya pengembangan kelima aspek  tersebut secara harmonis dan seimbang agar terbentuk pribadi yang sehat,  cerdas, peka (sensitif), luwes beradaptasi dan bersandar pada hati  nurani dalam bersikap dan bertindak. Dengan demikian meskipun ia  berhadapan dengan gaya hidup global, pijakannya pada akar kehidupan  tradisional yang menjadi cikal bakal kehidupan bangsa dan negaranya  tidak akan hanyut terbawa arus kehidupan global. Justru ia akan dapat  memilih dan memutuskan yang terbaik untuk diri, bangsa dan negaranya,  baik untuk keperluan jangka pendek maupun jangka panjang. Penegakan  hukum dan contoh yang diperlukan sebagai model pembentukan perilaku,  baik yang ditunjukkan orang tua maupun masyarakat, menjadi penting. 
Kerjasama  antar disiplin ilmu dalam memecahkan masalah yang dihadapi saat ini  sangat diperlukan. Pembangunan harus diarahkan pada cita-cita bangsa dan  negara ketika republik ini didirikan. Kebersamaan menjadi penting untuk  dapat menjaga kesatuan dan persatuan. Menyadari keterbatasan kemampuan  diri sebagai individu dan kelebihan bekerja sama akan dapat  menghindarkan suasana yang saling tuding, saling hujat, saling  mencemooh, saling menepuk dada, saling melecehkan, adu kuasa dan adu  kekuatan seperti yang tampak sekarang ini. Selain merugikan kehidupan  bangsa dan negara, memunculkan ancaman perpecahan, perilaku tersebut  tidak akan menempatkan individu dalam proses belajar memahami dan  mentaati hukum. Padahal, era globalisasi di abad 21 akan menghadapkan  manusia Indonesia pada hukum dan tatanan kehidupan bersama yang lebih  luas, tidak hanya dalam batas wilayah Republik Indonesia. Perilaku sadar  hukum adalah sebagian dari persyaratan yang diajukan abad 21. Siapkah  kita membentuknya? Tahukah kita cara membentuknya? Jawaban pertanyaan  ini akan menentukan corak individu yang menandai masyarakat Indonesia  abad 21, apakah kita akan menjadi bangsa yang mengalami "learned  helplessness", apatis, tidak percaya diri dan tidak mampu bersaing di  tatanan global atau menjadi bangsa yang memiliki self-efficacy, percaya  diri dan mampu bersaing di tatanan global. 
Agar  bangsa dan negara ini tidak semakin terpuruk karena terpaksa mengalami  "learned helplessness" seharusnya pemerintah dan masyarakat mampu  menumbuhkan motivasi berprestasi tinggi atau dikenal sebagai need for  achievement (Mc Clelland). Menurut teori Maslow, manusia Indonesia harus  didorong sampai pengembangan motivasi untuk mampu mengaktualisasi diri  dan tidak terhenti pada motivasi pemenuhan kebutuhan hidup yang mendasar  saja. 
Dalam  kaitan dengan pembangunan selanjutnya, ada pertanyaan yang masih harus  dijawab, terutama mengacu pada pengalaman kita selama ini, akankah kita  masih terkotak-kotak dalam menyelenggarakan pembangunan? Dapatkah kita  menempatkan manusia sebagai individu dengan segala keunikannya sehingga  tidak memperlakukannya sebagai obyek semata? Atau kita masih tetap  beranggapan bahwa masyarakat yang terdiri dari kumpulan individu adalah  sekadar obyek, yang bisa diatasi dengan "dua K" yaitu kekuatan dan  kekuasaan. Kalau jawabannya "Ya," maka cita-cita untuk mewujudkan  Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi barangkali cuma  angan-angan, seperti membangun rumah di atas angin. 
DAFTAR PUSTAKA
1.     Bandura,  A. (1986). Social Foundations of Thought and Action: A Social Cognitive  Theory. Englewood, New Jersey: Prentice Hall, Inc
2.     Deaux,  K., Dane, F.C., Wrightsman, L.S., In association with Sigelman, C.K.  (1993). Social Psychology in the ‘90s (6th Ed.). Pacific Groove,  California: Brooks/Cole Publishing Company.
3.     Feldman, R.S. (1990): Understanding Psychology (2nd Ed). Mc Graw Hill Publishing Company. 
4.     FOPI (1998): Kerangka Acuan "Curah Pikir" Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi. FOPI. Jakarta, Agustus 1998 
5.     Friedman, L.M. (1984). Legal Culture: Legitimacy and Morality. In American Law. London: W.W. Norton Company.
6.     Golding, M.P. (1975), Philosophy of Law. Englewood, New Jersey: Prentice Hall, Inc.
7.     Himpsi  (1991): Membangun Manusia Tangguh Dalam Era Globalisasi, kumpulan  makalah Kongres V dan Temu Ilmiah ISPSI (sekarang Himpsi), Semarang 4-7  Desember 1991. Himpsi Pusat. 
8.     Himpsi  (1998): Pokok-Pokok Pemikiran Himpsi tentang Upaya Penegakan Hukum di  Indonesia Dalam Rangka Memulihkan Kepercayaan Masyarakat Kepada  Pemerintah, konsep masukan kepada pemerintah. Himpsi Pusat, Agustus  1998. 
9.     Lev, D.S. (1990). Hukum dan Politik di Indonesia. Penerjemah, Nirwono dan A.K. Priyono. Jakarta LP3ES.
10. Macionis, J.J. (1996): Society, The Basics (3rd Ed). Upper Saddle River, New Jersey. Prentice Hall, Inc.
11. Martin, G. & Pear, J. (1992). Behavior Modification (4th Ed.). Englewood, New Jersey: Prentice Hall, Inc.
12. Poernomo  SS, I (1997): Era Globalisasi, Tantangan atau Ancaman? Makalah  disampaikan pada Acara Seminar Sehari "Kiat-Kiat Mendidik Anak Dalam  Menyongsong Era Globalisasi" diselenggarakan oleh Ikatan Isteri Dokter  Indonesia Cabang Jakarta Barat, Jakarta 6 September 1997.
13. Poernomo  SS, I (1998): Saat Tepat Mengajar Anak Hidup Susah. Makalah disampaikan  pada acara Temu Pakar dan Pembaca, diselenggarakan oleh Majalah  Ayahbunda, Jakarta 28 Agustus 1998.
14. Poespowardojo,  S (1998). Kondisi Budaya Dewasa ini dan Implikasinya bagi Dunia  Pendidikan. Makalah disampaikan dalam pertemuan Konsep Pendidikan Tinggi  Katolik di Universitas Katolik Atma Jaya Yogyakarta, 16 Januari.
15. Seran, A. (1997). Hukum dan Moral: Refleksi Etis Atas Paham Mengenai Hukum Yang Baik. Atma Jaya, Tahun X No. 3, 1-15.
16. Setiadi,  B.N. & Indarwahyanti G, B.K. (1998): Peranan Hukum Dalam  Pembaharuan Pola Perilaku Masyarakat. Makalah disampaikan pada Simposium  Kepedulian Universitas Indonesia terhadap Tatanan Masa Depan Indonesia,  Depok 30 Maret-1 April 1998



 
 
 
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar