Rabu, 15 Maret 2017

Senyawa

Dalam diri manusia terdapat banyak ikatan (gumantung) yang berasal dari kebutuhan jiwa dan raga. Jiwa terikat dan bergantung pada cinta, kasih sayang, kenyamanan, ketenangan, pujian, dan lain-lain. Sedangkan raga terikat dengan makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain. Namun selain kebutuhan, manusia juga terikat dengan keinginan yang menciptakan gaya hidup. Makan dan minum tidak lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup tapi untuk kemewahan dan gengsi, begitu juga rumah dan pakaian.
Ikatan-ikatan itu yang kita kenal dengan disebutan NYAWA. Seperti kata “bersenyawa” yang berarti saling mengikat atau saling bergantung. Gula dan garam bersenyawa dengan air, wewangian bersenyawa dengan angin, warna bersenyawa dengan benda, api bersenyawa dengan udara, dan lain-lain.

KEMATIAN adalah putusnya ikatan-ikatan tersebut. Dalam kematian normal (karena sakit) lepasnya nyawa terjadi secara bertahap. Berawal dari putusnya ikatan kaki yang berakibat hilangnya keinginan untuk bepergian. Putusnya ikatan pencecap (lidah) yang berakibat tidak lagi menginginkan makanan dan minuman enak. Putusnya ikatan perut yang berakibat pada hilangnya selera makan dan minum.  Putusnya ikatan birahi yang berakibat pada hilangnya keinginan untuk menyalurkan kepuasan seksual pada lawan jenis. Puncaknya adalah lepasnya ikatan rasa yang berpusat di ulu hati berakibat pada memudarnya segala keinginan (Ajaran Pikukuh Sunda-LQ Hendrawan).

Kemampuan manusia dalam melepas ikatan-ikatan kebutuhan dan keinginan itu oleh orang Jawa disebut “mati sak jroning urip”,
mati dalam hidup. Mengapa “mati sak jroning urip” penting? Bagi seorang manusia, “mati sak jroning
urip” adalah exercise (latihan). Ketika raga tidak lagi bisa mengikat SANG HIDUP, manusia tidak perlu repot untuk melepaskannya agar bisa diserahkan kembali kepada PEMILIK
SEJATI. (Makinuddin Samin : MATI SAK JRONING URIP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Burung Hantu Istimewa

  Burung Hantu